Rabu, 27 November 2019

LELAKI ES

*LELAKI ES*

4


Han mengantarku pulang ke rumahnya. Di perjalanan ia membisu saat kubertanya kapan ia mencuri cium dariku? Ia diam dan serius sekali mengendarai motornya, seperti sedang mengejar waktu. Setelah sampai, ia langsung pergi lagi. ‘Huf, dia bersikap dingin lagi, dasar! Kalau besok-besok aku minta cium dan nggak dikasih lagi? Awas aja, aku yang akan nyosor duluan. Huh! Kibas poni.’ Ririn tak tahu malu ... agh! Aku mengacak rambut sendiri.
Tak lama kemudian mama tiba. Ia mengenakan kebaya dan jilbab yang rapi. Tampaknya baru saja dari hajatan. Papa memarkirkan motor di teras samping rumah.
“Halo, Sayang, kamu nggak apa-apa?” tanya mama. “Di hajatan tadi ramai yang cerita tentang perampokan di pasar. Mama langsung ingat kamu.”
“Alhamdulilah nggak apa-apa, Ma.” Lalu sambil berjalan ke dalam rumah, kuceritakan semua yang kami alami di pasar tadi. Mama menatapku dengan serius dan terkadang menggeleng-gelengkan kepalanya. Wanita ayu itu menarik kursi untukku sambil tetap mendengarkan dengan antusias. Tentu saja bagian minta cium tidak kuceritakan. Terakhir, ia mengusap kepalaku dengan lembut.
“Ya, udah, nggak apa-apa. Yang penting, semua yang kamu dan Han lakukan harus dengan perhitungan yang matang.”
Syukurlah mama tidak menyalahkanku. Aku tersenyum menatapnya. Sepasang manik mata memancarkan kelembutan yang sudah lama tidak kudapatkan.
“Kamu istirahat saja dulu, mama mau ganti baju ... atau mau minta mama melakukan sesuatu?”
Hmm, mungkin ini saatnya aku melakukan misi. Pertama-tama mencari tahu tentang masa lalu suamiku yang super dingin itu.
“Pengen liat album foto ‘jadul’-nya Han, dong, Ma!” pintaku.
“Oh ... boleh.” Mama sedikit tertawa. “Sini!” ajaknya. Aku mengekor mama menuju sebuah bufet. Ia membuka salah satu loker dan memberikan beberapa album foto.
“Mama salin bentar, nanti ke sini lagi,” ucapnya.
Aku mengangguk.
Sambil memijat tangan kanan yang masih sakit, aku membalik tiap lembar album kenangan itu. Foto bayi-bayi mungil sampai balita tertera. Sayang aku tidak bisa membedakan antara Han dan adik-adiknya, mereka sangat mirip. Nah, kalau foto yang sudah bersekolah, aku bisa mengenali Han.
Aku terkikik saat membandingkan semua fotonya. Suamiku itu jarang sekali tersenyum. Mungkin tegang kali ya di depan kamera?
Mama tiba dan mengajakku ke halaman samping yang asri, hawanya sejuk karena pohon yang rindang. Kami membawa album-album foto itu bersama.
Perlahan mama menceritakan tiap foto yang membawanya ke masa lalu itu dengan runut dan suara yang lembut.
“Han tumbuh dengan didikan militer ayahnya. Ditambah lagi kedua adiknya cowok semua. Jadilah mereka kompak main bertiga aja. Sampai gede, ngumpulnya ya itu-itu aja. Punya temen juga cowok semua. Paling temen cewek tetangga sini yang suka main ke rumah.”
“Han nggak pernah punya pacar, Ma?” Aku penasaran.
“Waktu SMA, sih, kayaknya pernah, ya? Tapi cinta-cinta monyet gitu.”
Aku manggut-manggut. Jadi, Han normal, dong. Dia begitu karena lingkungan keluarga yang didominasi pria.
“Han berhenti dekat dengan perempuan saat pacar Martin meninggal tertembak,” ujar mama menyebutkan nama adik laki-laki Han.
“Tertembak?”
“Waktu itu mereka lagi jalan-jalan ke pantai, sama Han dan teman mereka yang lain. Beberapa orang menyebut nama Han dengan bawa senjata, mungkin ada penjahat yang dendam sama dia. Terjadi tembak-menembak sampai cewek itu kena. Setelah kejadian kami baru tau kalau penjahat itu mengira pacar Martin adalah pacar Han.”
Mama menarik napas dalam. “Melihat kesedihan adiknya, Han pun ikut terluka. Sejak itu ia nggak pernah dekat sama cewek mana pun. Bahkan saat adik-adiknya sudah bisa melupakan kejadian itu dan punya pacar lagi, Han masih juga sendiri.”
‘Nggak diragukan lagi suamiku benar-benar lelaki, kalau begitu. Ceritanya sedih tapi aku mendengarnya dengan perasaan senang karena lega. Ah, nggak empati sekali aku ini?’
“Sampai umurnya 30, kami menjodohkan Han dengan banyak gadis, tapi semua ditolaknya.”
“Benarkah?” Wah, ternyata trauma itu sangat mendalam di hati Han.
“Ya, mama dan papa sempat khawatir jangan-jangan Han nggak mau menikah selamanya. Mungkin dia masih merasa bersalah pada cewek yang meninggal itu. Padahal keluarga mereka sudah memaafkan dan hubungan kami cukup akrab.”
‘Terus, kok dia mau nikah sama aku? Jeng jeng! Jangan-jangan cuma karena kewajiban menuruti perintah orang tua, lagi? Mande ... kasihan sekali putrimu ini. Padahal aku sudah sangat terpesona padanya.
“Dia langsung mau saat kami menyebutkan nama Ririn,” ujar mama seraya terseyum.
‘Tuh, kan? Dia hanya menjalankan kewajiban biar nggak jadi bujang tua? Aih, sedihnya.
Mama terlihat membolak-balik halaman album. Lalu, ia berhenti di satu foto dan menunjuknya.
“Kamu tau siapa anak ini?”
Aku mendekat dan mengamati. Itu foto balita cewek. Aku menggeleng cepat dan memandang mama minta penjelasan.
“Ini Ririn ...,” ucap mama sedikit terkekeh.
“Masa? Ririn nggak inget pernah foto bareng Han?” selain Han ada juga kedua adiknya dalam foto itu.
“Kami pernah datang waktu Mande-mu meninggal, Sayang,” Mama mengusap kepalaku. “Saat itu usiamu empat tahun, kamu nggak inget, ya?”
Aku menggeleng lagi. Kemudian mengamati foto itu lebih lama.
“Jadi waktu Ririn umur empat tahun, Han sudah setinggi ini?” tanyaku takjub. Beda umur kami jauh atau badannya yang bongsor, ya?
“Ah ... iya, Han waktu itu sudah kelas lima SD.” Mama sedikit tergelak.
Jadi begitu? Berarti Han pasti ingat momen ini, dong, ya? Berarti dia udah lama kenal aku? Pastinya dia punya kenangan tentang kami, sementara nggak ada yang kuingat sama sekali. Huh, curang.
Kabarnya, sih, papaku dan papa Han bersahabat. Tapi tempat tugas memisahkan. Mungkin sesekali masih bertemu dan saat itu aku masih kecil. Karena sejak yang bisa kuingat, keluarga kami tidak pernah bertemu kecuali saat melamar waktu itu.
Aku dan papa hidup berdua sampai papa menikah lagi, lalu aku memilih hidup sendiri.
Sekarang ... aku seperti punya mama lagi.
“Lama banget Ririn nunggu buat bisa ngerasain punya mama lagi,” ucapku dengan mata ditutupi kaca-kaca.
“Benar, Nak. Mama sekarang adalah mamamu juga,” ucap mama sambil menggenggam tanganku, lalu aku tak bisa menahan untuk tidak memeluknya.
***
Malam itu Han belum juga pulang. Aku menunggu di kamar sambil ... biasa lah, ‘chat’ dengan teman di grup. Dengan berapi-api aku mengabarkan pada mereka bahwa Han-ku normal.
[Sekarang tinggal menunggu bukti, dong, ya? Berapa lama kalian nikah? Empat hari? Oke masih bisa dimaafkan, lah ....] ketik Risa.
[Oke!] jawabku dengan ... sedikit ragu sambil menggigit bibir. Mampukah aku menaklukkan dinding es itu? Kadang kalau lagi nyusun rencana kayaknya udah berani ... aja, tapi pas di depan orangnya ... alamak gemeter kaki ini, langsung keringet dingin.
[Harus genit, ya, genit! Ingat!] tulis Tina.
[Jangan kasih cewek lain lebih genit dari kita sebagai istri!] balas Yeoni.
[Hidup, istri sah!]
[Hidup!]
‘Well, semangat sudah menggebu, nih. Tapi apalah daya kalo ‘laki’-nya nggak ada? Emang aku harus genit ke cicak-cicak di dinding kamar ini?’
Pintu diketuk, tapi bukan suara suamiku yang menyapa. Mama muncul dengan seorang wanita paruh baya bertubuh gemuk.
“Ini, Mbok,” ucap mama pada wanita itu “Mama turun dulu, ya,” lanjutnya.
Lho?
“Mbok ini siapa?” tanyaku heran.
“Saya tadi disuruh Nak Han buat mijet istrinya, katanya habis berantem sama penjahat, takut ada yang kecetit, gitu,” jawab mbok itu sambil tersenyum.
Hah? Ah, Han, aku mengulum senyum, sulit melukiskan perasaan ini.
‘Nggak apa-apa, deh, orangnya nggak pulang malam ini, asal dia inget sama aku.’ Aku tersenyum lagi sambil bersiap-siap dipijat Si Mbok ini.
***
Pagi-pagi sekali aku sudah mandi dan rapi. Tapi Han belum juga pulang. Aku turun menyapa mama yang sedang memasak. Detik kemudian membantunya dengan kemampuan yang pas-pasan ini.
Selesai masak, mama menarikku ke kamarnya.
“Mama dari dulu pengen ... banget ngurusin rambut anak cewek. Anak mama kan cowok semua.”
Ia mendudukkanku di depan meja riasnya.
“Rambu Ririn hitam dan lebat, dikepang dua pasti cantik,” ujarnya.
Aku diam saja. Jujur seumur hidup belum pernah ngerasain rambut disisir ibu sendiri. Mataku menghangat, ada yang memaksa keluar lewat celah mata, tapi sebisanya kutahan.
Mama membagi dua rambutku dan meraihnya sedikit demi sedikit dari sekitar kepala bagian kanan.
“Ini namanya kepang seribu.” Mama tertawa senang. Jemarinya lincah sekali. Terbayang berapa tahun ia menahan diri untuk tak melakukan hal ini.
Tangan mama pindah ke kepala bagian kiri, lalu kurasakan di bagian tengah ia menyatukan rambutku. Bagian bawahnya sedikit lebar, sebab dari depan sini tampak terlihat sedikit di antara leher.
Mama mengikat ujungnya, lalu aku merapikan anak rambut. Wanita di belakangku kemudian pindah ke depan dan menyuruhku sedikit berdandan.
“Kalau make up-in, mama nggak bisa, Ririn sendiri aja!” ucapnya seraya tersenyum.
Selesai ....
“Cantik sekali!” ujar mama. “Eh, satu lagi, mama pengen kamu pakai baju ini!” Wanita itu menuju lemari dan mengambil satu baju berwarna putih. “Mama pernah beli tapi nggak tau mau dikasih siapa, suka aja,” katanya sambil tersenyum.
Aku mengenakannya di kamar mandi. Bajunya berenda di bagian kerah, cukup lebar sampai memperlihatkan pundakku. Roknya menutupi sampai ke bawah lutut.
“Cantik sekali ...,” puji mama setelah aku keluar. “Tapi bajunya dipakai di rumah saja, ya ... yuk, turun!” ajak mama kemudian.
Setelah makan bertiga dengan papa, aku menyiram bunga di halaman depan, sementara mama merapikan tanamannya. Saat itu suara motor terdengar, lalu berhenti di depan pagar. Suara Han terdengar bersama kedua adiknya.
Aku berdebar, menantikan reaksi suami dingin itu saat melihatku. ‘Gimana nggak berdebar-debar? Secara penampilanku ini lain dari biasanya, gitu, loh. Rambutku seperti gadis-gadis Eropa zaman dulu. Bajunya juga bagus ... banget. Pasti kali ini Han terkesima dan nggak sabar menyentuhku. Aku terkikik.
“Assalamulaikum!”
“Whao ... cantik banget, Kak! Pasti kerjaan mama nih, ya?” Adik Han yang memujiku. Ia lalu mendekati mama dan mencium pipi wanita itu.
Aku menanti pujian dari Han sambil menunduk dan mengulum senyum. ‘Tapi ... lama banget nggak keluar suara?’
“Cantik, nggak?” Akhirnya kuberanikan diri bertanya dengan mata sedikit berkedip-kedip walaupun sedang tidak kelilipan.
“Lumayan,” jawabnya datar, kemudian berlalu masuk ke rumah.
What? Lumayan itu kalo aku ngasih nilai kesiwa berarti C? Masa sudah abis-abisan gini, lumayan, sih? Pelit amat.
Melalui jendela kaca, kulihat kakak beradik itu menuju meja makan. Beberapa menit setelah menyiram bunga aku mendekati wastafel.
Han masih di meja makan saat aku mencuci piring. Posisiku membelakanginya. Sebentar-sebentar aku menoleh ke arahnya, berharap Han sedang tertangkap basah sedang menatapku. Tapi ... onde mande, tidak sekali pun matanya menatapku. Pengen menyelam ke air cucian piring ini deh, rasanya. Biarlah aku menghilang bersama busa sabun cuci karena harga diriku dicampakkan. Hiks!
Tiba-tiba aku ada ide. Kuraih gawai di saku baju dan memasang kamera depan. Lalu, menggeser sedikit badan dan meletakkan gawai di depanku, semoga Han tidak menyadari benda ini. Setelah itu aku menggeser tubuh dan melanjutkan mencuci piring dengan hati-hati, supaya gawaiku tidak terkena cipratan air.
Sambil mencuci dengan perlahan aku memperhatikan layar gawai yang menyorot tepat ke wajah suamiku di belakang sana. ‘Hohoho ... lihat matamu itu, Sayang ... bibirmu bisa saja bilang lumayan, tapi matamu jelas tak bisa berbohong, kau tak berhenti menatapku sambil makan kacang!’ Aku puas, Esmeralda ... puas ... sekali, sambil tertawa lebar seperti Mak Lampir, tapi di dalam hati.
Lalu ... dua atau mungkin tiga menit kemudian sepertinya Han menyadari gawaiku. Matanya membulat dengan mulut ternganga. Tepat saat itu aku membalikkan badan dan mengedipkan sebelah mata padanya.
‘Ting!’
Han tersedak kacang dan cepat-cepat mencari air minum. Hahaha ... berhasil! Sedikit demi sedikit aku mulai mengenalmu, suamiku. Hmm ... tunggu saja pulang nanti, akan kukeluarkan jurus untuk menggodamu. Jika tak mempan jurus rayuan, akan kukeluarkan jurus karate. Hahaha, aku tertawa jahat.
“Sayang, kita pulang siang ini, ‘kan?” tanyaku sambil mengerling. ‘Ririn ... pede banget sih kamu manggil dia sayang sayang segala? Dia aja nggak pernah? Biar aja, memang aku sayang beneran, kok!’ Dua sisi hatiku saling bersahutan.
Han mengangguk sambil mengelap dagunya yang basah. Sepertinya ia tersedak dua kali, tadi kacang, sekarang air. Mungkin karena aku memanggilnya ‘sayang.’ Aku terkikik.


_Bersambung....._

LELAKI ES

*LELAKI ES*

3

Kotak berpita itu masih menarik perhatianku saat gawai di atas meja berkedip-kedip. Risa mengirim sebuah gambar hasil capture profil facebookku.
[Bukan Ririn banget deh, ganti PP model begini!] ketik Risa.
[Kamu kenapa, Rin?] tanya Yeoni.
[FBmu ada yang nge-hack, ya?] Tina ikut menimpali.
[Iye ... di hack laki gue!] balasku sambil berjalan ke ruang tengah. Semoga dengan mengalihkan pandangan pada kotak, yang seolah punya mata dan melotot itu, aku bisa melupakan sejenak apa isinya.
Risa dan Tina menertawaiku. Sementara Yeoni bertanya.
[Kok, bisa? Ceritain, dong!]
Lalu kuceritakan kisah dari mulai bermain basket sampai video yang diunggah Riko.
[Han bilang aku genit!] Aku cemberut, sedih mengingatnya.
[Kenapa, coba, dia ganti PP pakai foto balita kribo itu? Bukannya foto kami berdua, atau foto dia sendiri ... Biar kayak orang-orang yang baru nikah gitu. Biar semua pada tau, aku miliknya dan dia milikku, jangan ganggu dia karena dia istriku. Ini enggak! Dia tuh nggak romantis banget tau nggak, sih? Nyebelin!] Aku mengetik sambil memajukan bibir. Masih kesal.
[Iya, memang, tapi lucu juga, sih! Wkwkwk] jawab Risa. Tina pun ikut-ikutan mengetik emot tertawa.
Sepertinya mereka sangat setuju bila Han memang seorang yang tidak romantis. Huh, aku jadi penasaran seromantis apa suami mereka?
[Jangan suudzon, dulu, dong, Rin! Dia bukan nggak romantis. Tapi ... coba pikir deh. Orang yang punya pekerjaan seperti dia cenderung menutup diri di dunia sosmed. Itu buat apa? Buat keamanan orang-orang terdekatnya. Han punya banyak musuh di luar sana, dia pasti nggak akan pasang PP kalian berdua. Itu semua buat ngelindungi kamu, Rin!]
Aku menatap layar gawai dengan takjub. Luar biasa pemikiran sahabatku ini.
[Masa?] Bibirku sedikit tertarik mendengar asumsi Yeoni. Jujur saja aku berharap itu benar.
[Percaya, deh sama aku ....] balas Yeoni.
Aku mengirimnya emot cium bertubi-tubi untuk Yeoni. Ah, mudah-mudahan saja itu benar.
Aku menunggu Han sampai malam sambil menonton televisi di ruang tengah. Dress polkadot warna hitam putih kukenakan. Di luar aku sudah sering memakai pakaian olah raga. Wajar aku ingin terlihat ‘girly’ di rumah. Aku juga berdandan. Nasib baik jika impian mereguk surga malam ini kesampaian. Aku terkikik geli.
Sampai tengah malam Han belum juga pulang dan mataku sudah sangat berat. Aku menguap berkali-kali dan akhirnya menyerah pada kantuk yang tak tertahankan.
Sepertinya semalam aku tertidur sangat nyenyak sampai-sampai tak bermimpi apa pun. Saat membuka mata dan mengumpulkan keping ingatan, aku tiba-tiba tersentak dan mengambil posisi duduk. Meraba tempat berbaring yang empuk dan selimut yang menutupi tubuh. Aku berada di kamar, bukan di sofa!
Han sedang duduk membelakangiku di kursi dekat jendela. Sebuah cangkir tersaji di atas meja di sebelahnya.
“Han?”
“Kamu sudah bangun?”
Wajahnya cerah sepertinya sudah mandi, pakaiannya pun sudah rapi.
“Maaf semalam aku ketiduran,” kataku.
Han hanya tersenyum tipis dan membuang pandangan ke arah jendela.
Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Bagaimana bisa aku sampai ke tempat tidur ini? Hmm ... pasti Han yang menggendongku, kan? Aah ... bodohnya kenapa semalam aku ketiduran. Momen yang kunantikan jadi terlewat. Aku memukul-mukul kepala sendiri.
“Makasih, ya udah mindahin aku ke kamar ini.” Aku menunduk dan mengulum senyum. Malu sekaligus ... apa ya namanya? Terlalu senang? Sambil membayangkan bagaimana tubuh Han yang tinggi mengangkat diriku yang mungil dan tengah tertidur. Mungkin saat itu aku sangat imut dengan rambut tergerai dan lekuk-lekuk tubuh terlihat jelas. Pasti Han terkesima melihat kecantikanku. Aku mengulum senyum untuk ke sekian kali. Ternyata Han perhatian juga ....
“Kamu jalan sendiri kok sambil merem,” jawab Han sambil berlalu dengan wajah datar dan tak menatapku sama sekali.
“Apa? Mana mungkin? Mama papaku nggak pernah bilang aku bisa berjalan sambil tidur!” Ah, memalukan sekali kalau itu sampai terjadi. Pakai bilang terima kasih segala lagi, akunya. Ugh!
“Ya, wajar lah nggak tau, kamu kan tidur di kamar sendiri!” Han berjalan dengan santai mendekati pintu.
“Nggak mungkin!”
“Satu lagi, kamu tu ngoroknya kenceng banget.” Setelah mengatakan itu tubuhnya hilang di balik pintu.
“Agh ... Mande! Masa sih?” Aku ‘misuh-misuh’ di atas kasur. Bayangan wajah imutku saat tidur berganti dengan mulut menganga dan suara dengkur yang keras. Ririn! Kamu memalukan. Aku membenamkan kepala di atas bantal.
‘Pantas saja suaimu ‘illfeel’ nyentuh kamu, boro-boro ngajak ML .... Sangat-sangat nggak anggun kamu!’ Aku mengumpati diri berkali-kali.
“Hei, katanya mau ke rumahku, ayo siap-siap.” Han berdiri di pintu sambil tersenyum, suaranya juga terdengar lembut. Jangan-jangan dia ngintip aku dan merasa kasihan, lagi?
“Baiklah ....” Aku beringsut turun dari ranjang dan menuju kamar mandi.
***
Rumah Han besar bercat putih. Halamannya luas ditumbuhi rumput gajah, aneka bunga digantung di dinding dan di susun dalam pot dekat pagar. Ada juga yang merambat. Terlihat pemiliknya rajin mengurus taman ini. Nuansanya klasik zaman dulu, peninggalan Belanda. Kata mereka –waktu melamarku dulu— buyutnya Han orang Belanda, mungkin itu yang menyebabkan Han jangkung. Begitu pula kedua adik laki-lakinya yang menyambut kami di meja makan.
“Halo, Han!” Kedua adik Han melambaikan tangan dari jauh kemudian berdiri melebarkan kedua tangannya.
Mereka berambut cepak. Entah dari mana hari Sabtu ini mengenakan seragam. Ya, keduanya juga abdi negara seperti Han, hanya saja warna seragamnya beda. Ketiganya berpelukan, terlihat akur, mewakili akurnya instansi mereka di negara ini. Adem melihatnya.
Papa Han turun melawati tangga menyambut kami, lalu Mamanya muncul dari arah dapur. Keduanya memeluk dan mencium keningku. Mereka sangat hangat. Kenapa anaknya dingin, ya?
“Mama sudah masak masakan spesial buat anak sulung Mama dan menantu paling cantik di keluarga ini!” Pujian wanita ayu khas Jawa itu membuat senyumku melebar, rasanya pipi menghangat. Andai Han yang mengucapkan aku pasti sudah guling-guling di lantai saking bahagianya.
“Ayo kita makan!” ajak papa Han yang mirip sekali dengan ketiga putranya, hanya saja warna rambut sedikit pirang.
Di meja makan, Han dan kedua saudaranya sering sekali bercanda. Aku berkali-kali melihat Han tersenyum memperlihatkan giginya. Ah, aku suka senyum itu yang sangat jarang kudapatkan saat berdua dengannya.
“Ririn ulang tahun hari ini,” ujar Han pada anggota keluarganya.
“Oh, ya? Selamat ulang tahun, Sayang, kok nggak bilang, sih? Mama bisa buatkan kue spesial buat istrimu!”
Kami hanya tersenyum.
“Selamat ulang tahun, Kak!” ucap kedua adiknya dan papa juga menyelamatiku.
Setelah makan siang, Han mengajakku ke halaman samping rumah. Ada meja bulat dengan dua kursi. Ia tiba belakangan sambil membawa kotak berpita yang aku lihat di kamar kemarin. Ternyata benar itu untukku, apa ya isinya?
“Selamat ulang tahun, bukalah!” ujarnya datar.
Ucapan yang sangat biasa, huh, dasar Han, tidak pernah bisa romantis!
Aku membuka dengan hati berdebar. Ada apa di dalam kotak ini. Beberapa detik kemudian ... Apa ini? Buku semua? Mungkin ada kali tiga lusin.
Ku bolak-balik setiap buku, ternyata ini kumpulan puisi semua. Oh ... Han, bukan seperti ini yang aku inginkan. Aku ingin puisi buatanmu sendiri, satu lembar saja cukup! Aku mengeluh dalam hati, tapi tak menampakkannya, takut Han kecewa. Setidaknya dia sudah berusaha. Aku tersenyum kecut.
“Maukah bacakan satu puisi?” Akan kuanggap itu dari hatimu untukku.
“Ehm ... baiklah,” jawab Han dengan ekspresi sama dengan saat aku melihat lalat.
Han memilih buku, lalu berdiri. Detik kemudian ia membaca judulnya. Suaranya ... keras, sih ... tapi? Astaga, Han, kita tidak sedang lagi di lapangan memperingati upacara hari kemerdekaan. Sumpah demi apa? Lelaki ini membaca judul dengan nada pemimpin upacara memberi aba-aba penghormatan: ‘kepada inspektur upacara, hormaaat, grak!’ ... begitu kira-kira. Aku menunduk sambil menggigit bibir. Selanjutnya ia membacakan isi puisinya seperti sedang membaca teks pembukaan UUD 1945. Sangat sempurna.
Aku bertepuk tangan dengan tidak ikhlas sambil tersenyum terpaksa. Sangat salah meminta han menulis puisi dan membacakannya untukku. Isi puisi yang romantis tidak sampai ke pendengarnya.
Dari balik kaca jendela, kedua adiknya dan Mama ikut bertepuk tangan dan memberikan jempol pada Han. Suamiku itu tersenyum sambil menggaruk kepalanya. Sepertinya dia sendiri ragu jika pembacaan puisinya layak mendapatkan tepukan yang ‘gemuroh.’ Ah, Han-ku ini ....
Lelaki itu duduk. “Maaf, ya, aku nggak bisa nulis sama baca puisi. Aku udah minta kamu ganti hadiahnya tapi kamu nggak mau,” ujarnya menatapku.
“Nggak apa-apa, kok.” Aku tersenyum. “Bunganya mana?”
Wajah Han sepertinya terkejut, apa dia lupa?
“Ini halaman mama banyak bunganya, kamu pilih aja, nanti aku petikkin!” ujarnya kemudian.
“Han!” Aku cemberut. “Kamu nih bener-bener nggak romantis, deh!” Menyebalkan.
Han diam sejenak, lalu ia menoleh padaku. “Ya udah, ayo aku belikan, kamu pilih sendiri.”
Setidaknya itu cukup menghiburku. Baiklah ....
“Jangan pakai gaun, ganti celana panjang aja, di sini daerahnya rawan kejahatan,” ujar Han. Aku mengangguk.
***
Kami mengendarai motor milik adik Han. Kali ini jaketnya tidak terlalu tebal, tapi aku sedang malas buat ‘nempel-nempel.’
Kami tiba di area pertokoan. Han menghentikan motornya di depan toko bunga. Halaman depan toko penuh aneka bunga demikian juga bagian dalamnya yang dilindungi dinding kaca.
Aku memilih di halaman, Han memperhatikan dari belakang. Sebenarnya aku tidak terlalu suka bunga. Memintanya dari Han agar ada sesuatu yang beda dari bunga yang biasa itu. Kalau memilih sendiri rasanya jadi biasa saja, tidak spesial. Tapi ... lumayan lah dari pada tidak sama sekali.
Kami terkejut saat mendengar suara tembakan di seberang jalan. Pecahan kaca menyusul di antara rentetan suara tembakan. Itu toko emas! Kaca etalasenya pecah oleh dua orang yang membawa senjata.
Han berdiri di depanku dan melindungi dengan sebelah tangannya.
“Tunggu di sini, jangan ke mana-mana!” Wajahnya tegang menahan bahuku hingga aku berjongkok di antara etalase kayu dan pot bunga. Banyak orang yang melakukan hal sama.
Kulihat Han mengeluarkan pistol dari balik jaketnya dan menyelinap di antara dinding bangunan. Dari sini aku bisa melihat kawanan perampok itu ada empat orang, dua orang lagi di atas motor.
Dadaku berdegup kencang, khawatir terjadi apa-apa pada suamiku. Apalagi kami belum sempat malam pertama? Lho? Apa-apaan aku ini? Tapi sumpah, aku khawatir sekali. Merasa tidak berguna sebagai istri jika hanya berdiam diri di sini. Buat apa bertahun-tahun ikut karate sampai meraih sabuk hitam. Aku harus menolong suamiku!
Han sedang membidik seseorang yang memasukkan emas-emas itu ke dalam tas. Pemilik toko terdiam di depan todongan senjata oleh perampok yang satu lagi. Dua orang di atas motor berjaga sambil sesekali menembak ke arah sembarang. Semua orang tiarap, bersembunyi takut terkena peluru perampok itu.
Han menembak penjahatnya. Hanya dalam hitungan detik ia mendapat balasan yang bertubi-tubi, tas dari toko emas terlempar ke perampok di atas motor, sambil melayangkan tembakan ke berbagai arah mereka melaju. Han maju menyerang dua orang lagi yang dengan cekatan menyusul teman mereka.
“Dor, dor, dor!” Suara tembakan terdengar lagi. Aku berlari dari tempat persembunyian, membaca keadaan.
Han berhasil mengenai kaki perampoknya, ia berlari mendekat membidik. Sayangnya satu orang lagi yang di atas motor sedang mengincar Han. Tangannya terulur memegang senjata. Aku harus cepat, selagi orang itu konsentrasi membidik suamiku, aku berlari secepat kilat mendekatinya, dan dengan sekuat tenaga kulayangkan tendangan ke arah kepalanya yang bertopeng.
“Dash!” Ia terhuyung ke kiri. Aku mengincar pistol di tangannya. Han sigap menembak penjahat yang satu lagi. Kena! Kini orang-orang mulai berani tegak berdiri dan berlari ke arah kami, sementara aku masih sekuat tenaga menahan tubuh lelaki yang hendak meraih pistolnya lagi. Gawat! Tenaganya terlalu kuat! Aku menjerit saat tanganku terpelintir.
Lelaki itu tiba-tiba terjerembap. Kaki Han tepat berada di atas punggungnya dan dengan ujung pistol menukik tepat ke arah kepala perampok itu. Fiuh, aku selamat. Orang-orang mulai ramai, tak lama kemudian suara sirine mobil polisi terdengar. Dua orang perampok yang sudah kabur harus dikejar.
Han menarikku berdiri.
“Aku sudah bilang, jangan ke mana-mana, kenapa masih nekat?” Ia meneriakiku dengan wajah memerah. Tetes-tetes keringat berjatuhan dari ujung rambut berponinya.
“Kamu tu kalo dibilangin, nurut! Jangan bandel! Ini tu bahaya ngerti nggak?” Han menarikku menjauh dari kerumunan orang-orang, lalu berjalan cepat mendekati motor kami.
Aku hanya takut kamu kenapa-kenapa, Han. Ingin sekali mengatakan itu tapi bibirku kelu. Hanya mata ini berkaca-kaca mendengar bentakannya.
Kami sudah sampai di dekat motor. Ia berbalik menatapku, lekat. Kedua alisnya bertaut, wajahnya serius sekali.
“Kamu nggak apa-apa, ‘kan?” Han meraih pucuk kepala dan menyentuhnya perlahan. Aku hanya diam dengan perasaan yang aneh.
“Jangan kayak gitu lagi, ya! Jantungku hampir copot ngeliat kamu tadi tau, nggak?” ujarnya sambil mengusap pipiku, dahi, membetulkan anak rambutku yang berantakan ke belakang telinga. Juga menghapus keringat yang membasahi wajah ini.
Han, apa ini? Hatiku mencelus, seperti ada suara ‘nyes’ di dalam dada. Aku tak berhenti menikmati wajahnya yang berjarak sangat dekat saat ini.
“Han?”
“Ya?”
“Boleh minta cium, nggak?” Onde Mande lancang sekali mulut ini!
Han menjentikkan jarinya ke arah jidatku sambil tersenyum. Maniiis ... banget.
“Udah pernah!” katanya.
“Hah? Kapan? Kok aku nggak ngerasa, sih?”
“Ayo kuantar pulang, aku mau pergi lagi!” katanya.
“Han, jawab!” Aku memukul punggungnya.
Ia malah menarik tanganku untuk melingkari pinggangnya.
“Han!”


_Bersambung....._

LELAKI ES

*LELAKI ES*

2

Kebisuan di antara kami berlanjut sampai ke rumah. Aku tidak tahu apa yang ada dalam pikirannya, tapi ... sangat tidak nyaman saling diam seperti ini.
Aku menyeduh teh dan mengantarkannya ke kamar di mana suamiku sedang berganti pakaian. Sial, kali ini waktuku kurang tepat untuk menyaksikan pemandangan indah seperti kemarin.
Han menerima cangkir dariku dan duduk di tepi ranjang. Hmm ... sepertinya memang harus aku yang memecah kesunyian terlebih dulu.
“Ehm, Han, kamu nggak lupa ‘kan besok lusa ulang tahunku?” Pertanyaan konyol. Aku menepuk kening sendiri.
“Iya,” jawabnya, dan ia ... tersenyum. Ah, syukurlah wajahnya tidak tegang seperti dalam mobil tadi. Aku lega.
Han masuk kamar mandi, sementara untuk menghilangkan bosan aku membuka aplikasi WA. Membuka percakapan dengan teman grup alumni kuliah dulu. Menceritakan tentang kejadian dari pagi tadi hingga saat Han yang tiba-tiba menjemputku ke sekolah.
Reaksi teman-temanku sungguh di luar dugaan. Mereka mengatakan itu pertanda baik. Jadi saat Han menawarkan akan mengantarku, jangan lagi tolak! Harus terima, bila perlu minta antar saja pakai motor.
“Kenapa?” tanyaku heran.
“Aduh, kamu itu, ya, Rin! Pakai otak jangan diirit irit kek beli sembako. Gunakan dengan maksimal!” balas Risa.
“Biar bisa nempel-nempel, gitu ... kalo di mobil kan nggak bisa? Helo trik dasar kek gini aja kamu nggak tau?” Kali ini Tina yang menjawab, kompak sekali dengan Risa.
Aku mengangguk-angguk sambil berharap hal itu bisa jadi nyata besok pagi.
“Jangan lupa, kamu harus pakai bra yang nggak ada busanya, ingat! Pakai baju yang tipis-tipis saja!” tambah Risa lagi.
Beberapa detik kemudian tiga gambar bra yang berbeda jenis dan warna menghiasi layar gawaiku. Apa-apaan mereka? Dasar.
Sohib-sohibku itu dengan semangat menjelaskan masing-masing kegunaannya. Tentu saja dengan kalimat-kalimat nakal seperti biasa. Kini, gambar-gambar itu semakin banyak dikirim oleh Risa. Astaga! Apa-apaan mereka?
Aku melempar gawai ke kasur. Tepat saat itu, Han duduk di sebelahku. Tampaknya ia kaget dengan lemparan benda di dekatnya itu. Salahku, tak menyadari kedatangannya.
Setelah melihatku, detik kemudian manik mata Han beralih pada gawai yang tergeletak di kasur dengan layar yang masih menyala. Di sana, gambar bra berwarna pink terpampang nyata tanpa cela lengkap dengan modelnya yang seksi. Ups! Han membulatkan mata memandangnya. Entah apa yang ada dalam pikiran Han, aku meraih benda laknat itu dan berjalan keluar kamar, malu!
***
Pagi yang cerah. Saat sudah siap dengan seragam olah raga yang tipis dan bra seperti yang disarankan teman-teman kemarin, aku menunggu Han mengatakan kalimat keramatnya.
“Mau aku antar?”
Ah, akhirnya kalimat itu keluar juga. Tanpa basa basi lagi aku langsung menjawab, ya!
“Tapi, bisa nggak kita berangkat naik motor saja? Soalnya aku suka mual naik mobil?” Alasan macam apa ini? Aku menepuk kening sendiri.
“Boleh!” ucap Han. Wow, aku berlonjak kegirangan, misi melelehkan es di kutub segera dimulai.
Han mengeluarkan motor ninjanya, dan itu makin membuatku berbinar. Bukankah akan lebih mudah ‘menempel’ padanya dengan bentuk jok seperti itu? Hohoho ... ini berkah.
Aku naik ke atas motor setelah Han memberikan helm. Perlahan motor melaju membelah jalanan. Ragu, kulingkarkan tangan ke pinggang suamiku itu. Dadaku berdebar-debar, ini pertama kalinya kami berada pada jarak yang sangat dekat. Lalu kini, aku berusaha menghapus jarak itu. Tanpa kuduga, tangan Han yang hangat menarik jemariku untuk lebih erat lagi berpegangan padanya. Hhh ... rasanya di atas angin. Aku mengulum senyum.
Tapi ... apa ini? Aku baru sadar kalau Han mengenakan jaket yang terlalu tebal. Wah bagaimana rencanaku bisa berhasil? Dengan ukuran dada pas-pasan seperti ini, bagaimana mungkin bisa menembus jaketnya yang sedemikian tebal? Paling maksimal ia hanya bisa merasakan ada yang menyentuh punggungnya tanpa tahu teksturnya! Ya! Itu yang terpenting. Tujuanku adalah membuatnya penasaran dengan keindahan tubuhku ini dan berharap malam pertama secepatnya terlaksana.
Kalau begini rencanaku gagal. Agh ... menyebalkan! Kenapa kamu harus pakai jaket setebal ini sih, Han? Kamu itu nggak peka banget tahu nggak? Atau kamu malas bersentuhan denganku? Atau aku memang tidak menarik? Segala bayangan indah berbagi kehangatan di atas motor musnah sudah. Ingin menangis sepanjang jalan. Rasanya seperti gagal belanja baju online, saat barang tiba ternyata tidak sesuai ekspektasi! Beli ukuran L, yang datang seukuran XS, kekecilan, tapi uang sudah ditransfer, dan nggak bisa dituker. Nyeri euy!
Han menurunkanku di depan kantor guru, bukan di tempat parkir kendaraan. Aku turun dan mencium punggung tangannya.
“Kamu nggak pakai jaket? Kan dingin?” Sepertinya dia terkejut melihatku.
“Ah ... nggak apa-apa, aku udah biasa, kok!” Aku tertawa hambar, tapi meringis dalam hati, tadi itu dingin sekali, Han. Semua ini kulakukan untukmu.
Detik kemudian Han meninggalkanku. Lalu dengan bersungut-sungut kutulis pesan pada teman-teman di grup.
“Kalian tau ide gila itu membuatku hampir mati kedinginan, dan nggak ‘ngefek’ apa-apa ke Han!”
“Kok bisa?” balas Yeoni.
“Dia pakai jaket tebel banget!” jawabku.
Emotikon ‘ngakak’ memenuhi layar gawaiku.
“Bukan jaket anti peluru yang sering dia pakai ‘kan?” ketik Risa.
“Tapi bisa jadi sih, mungkin dia menganggap dada Ririn itu peluru yang berbahaya! Wkwkwk.”
“Kalau pelurunya segede itu, kebayang nggak senapannya semana? Wkwkwk!”
Mereka sibuk menertawakanku.
“Rin, kalau misi ini gagal, kamu harus cari tahu masa lalu suamimu, kamu harus pastikan kalau dia benar-benar lelaki tulen!” tulis Tina.
“Dia tulen!” jawabku kesal.
“Tapi dia belum pernah menyentuhmu, apa itu normal? Cobalah ajak dia ke rumahnya, pastikan kamu ulik semua masa lalu suami kamu!” cetus Yeoni.
Agh, aku pusing. Mereka bicara yang bukan-bukan. Aku berlari ke lapangan. Beberapa siswa yang terlambat datang menjadi sasaran empuk kekesalanku. Tak ada yang berani melawan Ririn di sekolah ini. Aku cukup disegani walau tubuh ini tak setinggi mereka. Tidak hanya mengajar pendidikan jasmani, aku juga menguasai bela diri. Tahun lalu sekolah sempat geger karena ulahku berkelahi dengan murid yang berakhir di pengadilan. Untungnya aku menang, sebab aku yakin benar.
Setelah memberi hukuman pada mereka aku kenakan baju yang lebih tebal dan pergi ke lapangan basket. Olah raga adalah cara lain melupakan kekesalan. Saat itu beberapa siswa ada di luar lapangan, sementara aku sedang tidak ada jadwal. Jadi tidak ada beban meninggalkan kelas.
Tiba-tiba Riko sudah ada di lapangan dan merebut bolaku. Sepertinya aku mendapatkan lawan seimbang. Kudengar riuh suara siswa-siswa meneriaki kami, memberi semangat. Benar, aku lupa dengan gagalnya misi pagi ini.
Tenang saja, Rin, masih banyak waktu untuk menaklukkan hatinya. Jangan berhenti berusaha.
Aku berhenti main, peluh membasahi sekujur tubuh juga rambut. Riko tampak menemui seorang siswa lalu kembali mendekatiku dengan gawai di tangan, lalu menunjukkan sesuatu padaku.
“Nggak penting banget, sih, Rik!” Aku mengalihkan pandangan dari layar gawainya yang sedang memutar video rekaman pertandingan basket kami.
“Bagiku ini keren, maksudku, kamu keren, Rin!” pujinya.
Ada yang hangat menjalar di pipi. Ah, sayang pujian itu bukan keluar dari mulut Han. Semanis apa pun kalimat jika bukan dari bibir Han, tidak akan berarti bagiku, saat ini. Tuh, kan ... aku jadi ingat dia lagi. Aku bergegas melangkah meninggalkan Riko menuju ruang ganti.
***
Pulang kantor aku dijemput Han dengan mobil. Wajahnya sama dengan saat pertama ia menjemputku. Sepertinya ada sesuatu yang tidak beres, tapi aku enggan bertanya.
Tiba di rumah aku mengempaskan diri di sofa ruang tengah, lelah rasanya. Tiba-tiba lelaki itu duduk di sebelahku.
“Siapa Riko?” Han bertanya.
“Teman, kamu tau dari mana ada temanku bernama Riko?”
Han mengeluarkan gawai dan menyentuh layarnya. Jari-jarinya sungguh panjang dan lentik. Tidak terbayang jika ia sedang menggunakannya memegang senjata menangkap penjahat. Hangatnya saat ia menarik tanganku tadi pagi masih terasa.
“Ini!” Han memperlihatkan video main basket tadi yang dikirim ke beranda facebookku.
“Ya, itu aku tadi pagi, ah buat apa sih Riko menandaiku?” Aku memaksakan tawa mencoba memecah kekakuan. Ada yang tak biasa saat aku memandang wajah Han. Rahangnya terlihat mengeras, seperti ada yang ia tahan untuk dikatakan.
“Mana handphone-mu?”
Aku refleks memberikannya.
“Apa sandinya?”
Aku memberitahunya. Han tampak membuka aplikasi facebookku. Anehnya, aku tidak marah. Aku merasa berdebar menanti sesuatu yang romantis dilakukannya. Seperti di drama-drama Korea? Cowok yang cemburu secara diam-diam. Aku mengulum senyum.
Han tampak mengutak-atik gawaiku. Aku mendekat agar bisa melihat apa yang ia lakukan. Sayang keberanianku ini jika di tempat tidur selalu lenyap. Han menjauhkan diri agar aku tak bisa menatap gawaiku sendiri.
Anganku melayang, pasti suamiku ini sedang memamerkan hubungan kami agar cowok-cowok di luar sana tak ada yang berani menambahkanku menjadi teman apalagi mengirim video seperti tadi. Jujur permainan basket tadi menunjukkan kalau aku dan Riko benar-benar akrab. Han pasti cemburu. Aku terkekeh dalam hati.
Pasti saat ini ia sedang mengganti foto profilku dengan foto kami berdua. Supaya aku tidak diganggu cowok lain. So sweet sekali. Akhirnya ....
“Ini!” Han menyerahkan gawainya padaku, lalu melangkah ke kamar dengan santainya.
Aku cepat-cepat menatap layar, penasaran foto mana yang ia gunakan sebagai profil facebookku?
“Han!” Aku berteriak, tapi tubuh tingginya sudah tak terlihat di balik dinding kamar.
Aku bersungut-sungut. “Dasar es batu!” Lihat! dia mengganti foto profilku dengan gambar balita kribo dengan pipi bulat yang menghitam seperti baru kena setrum di film-film kartun. Bukan dengan foto romantis pernikahan kami.
“Han!” Aku berteriak sebal, mengacak-acak rambut sendiri.
Lelaki itu keluar dari kamar dan menatapku.
“Kenapa?” tanyaku sambil menatapnya dan gawai secara bergantian.
Han berjalan cuek ke arah pintu keluar rumah kami.
“Itu hukuman!”
“Aku nggak salah apa-apa!” sahutku kesal.
“Kamu genit!”
“Nggak!” Aku tidak terima.
Hening, kami sama-sama berdiri dalam diam. Tapi kupikir-pikir, di dalam video itu memang yang tampak hanya aku dan Riko. Tidak ada siswa-siswa yang meneriaki kami. Apa aku terlihat segenit itu? Iya kah? Aku jadi tidak enak.
“Aku pulang malam!” Han mengalihkan pembicaraan dan tak menatapku. Mungkin ia ingin kami tak membahas masalah ini lagi. Ia bersiap pergi.
“Jangan lupa hadiah ulang tahunku besok!”
“Aku sudah siapkan kadonya, tapi kalau kamu menemukannya, jangan dibuka sekarang, ya!”
Mataku berbinar. “Kita rayakan di rumahmu saja, ya?” pintaku.
Han diam beberapa detik. Ia menyugar rambutnya yang lebat dan tidak cepak seperti kebanyakan rekan seprofesi.
“Oke!” Kemudian ia berlalu.
Baiklah, Han, aku akan lanjutkan misi keduaku. Pesan dari teman-teman akan kulaksanakan di rumahmu besok. Sejenak aku lupakan foto profil facebook yang terganti dan video yang sudah dihapus serta hilangnya nama Riko dari daftar pertemanan. Aku menuju kamar untuk beristirahat.
Setelah berganti pakaian dengan dres bunga-bunga, aku berniat merebahkan diri ke kasur saat tiba-tiba mataku menangkap sebuah kotak besar dengan pita.
Aku mendekati dan merabanya. Mungkinkah ini kado ulang tahun yang baru saja dikatakannya? Hei ... aku hanya minta puisi tapi kenapa ia memberikan bungkusan sebesar ini? Apa ya isinya? Han tidak hanya dingin tapi juga misterius.
Aku penasaran tapi sudah berjanji pada Han untuk tidak membukanya. Kalau tak kutepati bisa-bisa kena hukum lagi? Bagaimana kalau sampai tidak jadi ke rumahnya besok? Aku kan mau melaksanakan misi lagi.
Tapi, tidak dibuka rasanya penasaran sekali. Tidak hanya besar, kado ini juga sangat ... berat!


_Bersambung..._

*KELAKI ES*

*LELAKI ES*

_PENULIS:  *RIKA YENITA*_

part 1


“Aku menikah dengan kulkas berjalan!” tulisku di sebuah grup alumni teman kuliah khusus cewek.
Hanya hitungan detik komentar datang meledekku, diiringi ‘emot ngakak guling-guling’ di akhir tiap kalimat yang mereka tuliskan.
Sebagian besar sobat-sobatku itu sudah menikah semua. Wajar jika kata-kata yang mereka tuliskan terkesan nakal.
“Kamu perlu belajar banyak dariku, Rin! Lihat anakku sudah tiga,” tulis Tina.
Hei apa korelasinya antara sifat dingin suami dengan punya anak tiga? Aku mengernyit.
“Mungkin kamu yang terlalu kaku, makanya kalau di rumah, dandan dan pakai baju seksi, dong!” Kali ini Risa yang mengetik balasan.
Aku baru dua hari menikah, mana mungkin dengan sangat percaya dirinya pakai baju seksi di depan lelaki yang baru saja kukenal. Ya, kami memang dijodohkan. Alasan orang tua suamiku karena anak mereka telah mencapai umur dewasa dan mapan. Lalu, orang tuaku menerima, karena seumur hidup putrinya ini belum pernah sekali pun pacaran. Tentu mereka takut aku jadi perawan tua. Se-simple itu pernikahan kami terjadi.
“Berarti kalian belum ML?” tanya Tina.
“Belum, lah,” jawabku jujur.
Emoticon ngakak memenuhi layar handphone-ku. Apa itu kedengaran lucu? Kenapa aku malah khawatir dan bingung? Ayolah teman, sayang kalian tidak ada di sini dan melihat bagaimana wajahku, andai saja itu terjadi, aku jamin kalian tidak akan tertawa.
“Mungkin karena pekerjaan suamimu yang sering berinteraksi dengan penjahat kriminal, sehingga terbawa dalam kehidupan sehari-hari, Rin. Nggak apa-apa, kalian hanya belum terbiasa saja!” tulis Yeoni.
Dari sekian puluh chat, kalimat ini kurasa yang paling bijak. Thank you, Beib Yeon! Mungkin ada benarnya. Tapi, andai kalian tahu, dia itu benar-benar dingin, kaku, dan ... sangat tidak romantis. Ah, aku memijat pelipis, bingung.
Aktivitasku terhenti saat pintu rumah terbuka. Suamiku pulang. Aku menyambut kedatangan pria tinggi itu dengan meraih tas selempangnya. Hari ini dia tak pakai seragam. Itu berarti tugasnya di luar kantor cukup berat. Kutahan untuk tidak bertanya dan mengambilkannya air minum.
“Kamu mau mandi air hangat?” tanyaku.
“Nggak,” jawabnya sambil memegang gelas yang telah kosong.
“Atau mau makan dulu?”
“Hmm ... nanti saja.”
Hening ... aku sedang mencari pertanyaan lain agar suasana sedikit mencair, tapi mendadak otakku buntu. Tidak bisakah kau yang berinisiatif membuka percakapan, Suamiku?
“Aku ke kamar, dulu.” Akhirnya kalimat itu yang keluar dari mulutnya. Lalu ia meninggalkanku duduk di sofa ini, sendiri. Menyebalkan! Mencoba menghibur diri dengan memilih acara televisi, entah kenapa iklan semua. Aku melempar remote.
Baiklah, mungkin nasihat Risa harus kupertimbangkan, istri harus agresif. Kususul Han ke kamar.
“Aku masuk, ya?” sapaku di pintu.
Han sedang berdiri membelakangiku, tampak sedang melepas pakaiannya. Kulitnya yang bersih terlihat sempurna dengan bentuk bahu yang lebar dan lengan terlihat kuat. Ia berbalik menatapku, bagian depan tubuhnya ternyata lebih menarik.
Glek.
Aku memegangi dada, tiba-tiba jantungku berdebar tak biasa. Sungguh indah ciptaanMu, Tuhan!
Han mengenakan kaos lalu menuju tempat tidur. Ia berbaring di sana.
“Ehm, Han ... dua hari lagi aku ulang tahun, lho!” Aku coba mendekatinya walau kaki ini terasa kaku.
“Kamu mau hadiah apa?” Ia menatapku. Wow, aku meleleh, Mande!
“Aku minta puisi dan bunga,” jawabku, malu sebenarnya mengatakan ini. Tapi ... aku sangat menginginkannya lebih dari apa pun.
Han diam sambil menggigit bibir. Itu makin membuatnya terlihat seksi. Kapan bibir itu mampir di bibirku? Astaga! Ririn! Aku menggelengkan kepala menepis pikiran mesum ini.
“Boleh ganti yang lain?” Ia menatapku lagi.
Apa? Ia tak bisa memberikan hadiah sesederhana itu? Ah, menyebalkan. Aku berlalu meninggalkannya, kesal. Tapi berharap ia memanggil dan berkata ‘oke, akan kuberikan!’
Tapi sampai aku melewati pintu kamar, tidak ada kalimat itu! Dasar, Han! Bantal kursi menjadi sasaran kekesalanku. Kupukul dan gigit sekuat tenaga! Ugh!
***
Setelah memasak untuk sarapan dan menghabiskan hidangan dalam kebisuan, akhirnya aku siap berangkat ke kantor. Aku mengajar mata pelajaran pendidikan jasmani SMA. Sekolahnya di ujung desa, sekitar 10 km dari rumah kami. Selama ini aku biasa berangkat sendiri dengan sepeda motor.
Seragam olah raga seperti biasa kukenakan. Aku sering dipanggil si tomboy karena pekerjaan ini. Ah, mereka tidak tahu kalau hatiku ‘pinkywati.’
“Aku antar, ya?” tawar Han, ia juga bersiap berangkat kerja.
“Makasih, aku sudah biasa pergi sendiri, kok,” aku tersenyum, senang dengan perhatian kecil itu. Terlepas dari apakah itu tawaran yang serius atau sekedar basa basi.
“Oke, berangkatlah lebih dulu!” ucap Han.
Aku menghidupkan motor setelah mencium punggung tangannya dengan kaku. Aku yakin ia juga sama.
***
Setelah mengajar, aku mengerjakan tugas dari atasan untuk membuat soal. Ada seorang guru baru yang bekerja sama denganku. Namanya Riko. Sejak pagi tadi ia lumayan sering menghampiriku menanyakan tentang hal ini. Aku katakan nanti ketika jam terakhir tiba, dan di sinilah kami sekarang. Di ruang komputer.
“Boleh aku add akun kamu?” tanya Riko.
“Boleh,” jawabku sambil memberikan nama akunku.
“Wah ... ternyata kamu suka puisi, ya?”
“Hanya penikmat, tidak bisa bikin sendiri.” Aku tertawa.
Riko tampak mengetik sesuatu di layar monitor. Kukira itu soal, ternyata puisi.
“Bagus, nggak?” tanyanya setelah selesai mengetik dalam hitungan kurang dari lima menit.
“Waw, ini keren ... dan romantis!” Aku tak menyangka.
Tiba-tiba gawaiku bergetar. Ternyata Han menelepon.
“Kamu sudah pulang?” tanyanya.
“Belum,” jawabku.
Riko membaca puisinya, tiba-tiba, dasar aneh.
“Itu suara siapa?”
“Teman,” jawabku.
“Berapa orang?”
“Satu orang.”
“Pulang jam berapa?”
“Sekitar satu jam lagi.”
“Oke.”
Telepon ditutup. Untuk apa menelepon kalau hanya menanyakan hal sepele seperti itu? Huh! Aku kembali berkutat dengan keyboard dan buku-buku.
Entah sudah berapa menit berlalu, seorang murid menghampiri kami dan memberi tahu jika ada yang menungguku di lobi. Bertepatan dengan itu bel pulang berbunyi. Aku penasaran, lalu bergegas keluar bersama Riko. Tas sudah kujinjing.
“Han?” Aku terkejut melihatnya di sini.
“Aku jemput kamu!” ujarnya.
“Lho ... terus motorku?”
“Setelah antar kamu nanti aku urus!”
Han menarik tanganku dan membukakan pintu mobil. Aku duduk dengan bingung. Sama dengan tatapan mata Riko dari jauh yang sulit kuartikan.
Han membuka pintu dan duduk di belakang kemudi. Tanpa banyak kata ia memutar mobil dan melaju dengan kecepatan sedang. Sesekali aku meliriknya, tapi wajahnya yang serius membuatku urung bertanya.

_bersambung_

*Masih adakah Sorga untuk Ku*

*C E R B U N G*

*Masih_Adakah_Surga_Untukku*
 By Laila

*Episode_2*

Ayah terlihat syok mendengar keterangan dokter jika bundo terkena stroke. Dokter menyarankan bundo dibawa ke rumah sakit spesialis stroke di Bukit Tinggi. Di sana peralatan dan dokter-dokternya lebih lengkap untuk penyakit seperti bundo. Ayah dan keempat orang anak perempuannya menyetujui saran dokter. Bagi mereka yang terpenting adalah kesehatan dan kesembuhan bundo.

Uda Rizal dan uda Rudi langsung mengurus admistrasi dan surat rujukan dari dokter. Sementara uni Lili dan ketiga orang adiknya duduk di samping kiri dan kanan ayah. Mereka pun sama seperti ayah, bersedih melihat kondisi bundo. Tama yang sedari tadi hanya berdiri di samping ruang UGD berjalan mendekati ayah.

"Pak, maaf ... sepertinya Tama tidak ikut mengantar Ibu ke Bukit Tinggi." Ayah menatap Tama dengan tatapan perih. 
"Iya, Nak. Tak Apa." suara ayah terdengar parau. Tama jongkok di depan ayah.
"Tama hanya bisa berdoa, semoga ibu secepatnya pulih, ya Pak dan bisa pulang kembali ke rumah dalam keadaan sehat seperti sedia kala."
"Iya, Nak terima kasih. Ayah dan semua keluarga mohon maaf atas semua yang terjadi." ayah menunuduk. Tak dapat ditahannya. Bulir-bulir bening itu membasahi pipinya yang telah mulai keriput. Bahu ayah berguncang menahan isak tangis.

"Tak apa, Pak. Bapak ga usah pikirkan dulu yang lain. Fokus aja dulu pada pengobatan dan kesembuhan, Ibu." Ayah semakin sedih mendengar kata-kata Tama. Ternyata ia tak salah memilih menantu. Sementara uni Lili, dan yang lainnya juga tak dapat menahan tangis.

"Sekalian Tama mau pamit, Pak. Mungkin dalam dua hari ke depan, Tama kembali ke Jakarta."
"Mengapa begitu cepat? Tidak kah Nak Tama bisa menunggu beberapa saat lagi? Siapa tau Laila pulang?" mata ayah menatap Tama penuh harap. Tama mencoba tersenyum.
"Tidak bisa sepertinya, Pak. Sudah terlalu lama Tama meningglkan pekerjaan."

"Baiklah, Nak. Tapi Ayah janji, jika kondisi Bundo sudah membaik, Ayah akan menyelesaikan masalah Laila." ayah menyentuh bahu Tama dengan lembut. Tama mengangguk. Lalu diambilnya tangan ayah, disalami dan diciumnya dengan takzim. Sesaat kemudia laki-laki gagah itu telah meninggalkan ayah mertua dan keemapt kakak iparnya. Ayah menatap kepergian menantunya dengan dada yang terasa perih. Uni Feni dan uni Rini menyusut air mata mereka dengan ujung jilbabnya. Ada yang terasa hilang di hati mereka.

****

Tama duduk di hadapan bapak dan ibunya serta kedua orang kakak perempuannya di ruang tamu. Berita kaburnya Laila telah menyebar ke seluruh pelosok kampung. Bapak dan ibu Tama serta seluruh keluarga merasa sangat malu dan juga merasa terseinggung. Tapi mereka tak dapat berbuat banyak, bukankah Laila gadis pilihan mereka untuk Tama?

"Sebenarnya apa yang terjadi, Nak? Mengapa tiba-tiba Laila kabur?' bapak menatap Tama yang terlihat begitu letih.
"Tama juga ga tau, Pak. Tama juga merasa bingung," Tama mendesah berat. Dadanya terasa begitu sesak. Tatapan bapak, ibu dan kedua kakak perempuannya semakin membuat Tama sakit.
"Lalu apa rencanamu selanjutnya?"
"Saat ini Tama belum bisa berpikir apa-apa, Pak."
"Kamu tak ingin mencarinya?"
"Buat apa, pak? Jika kami memang ditakdirkan untuk bersama, Allah pasti akan mempertemukan kami kembali. Tapi jika memang dia bukan jodoh Tama, sekuat apapun kita berusaha, tetap saja tak akan berhasil."
"Maafkan Bapak dan Ibu." lirih suara bapak. Sementara ibu dan kedua kakak perempuan Tama hanya bisa mengusap mata yang kembali basah.

"Tak ada yang perlu dimaafkan, Pak. Bapak dan Ibu tidak salah. Semua sudah atas kehendak-Nya." Tama merengkuh pundak bapaknya dengan penuh kasih. Laki-laki yang telah banyak berjasa dalam hidupnya.
"Terima kasih, kamu tidak marah pada kami." Tama mencoba tersenyum. 
"Tidak mungkin Tama marah pada Bapak dan Ibu. InsyaAllah ada hikmah di balik semua ini, Pak." Bapak dan Ibu Tama semakin terluka melihat ketegaran anak bungsu mereka. 

Tetap saja mereka merasa bersalah. Mereka lah yang bersikeras membujuk Tama untuk menikah dengan Laila. Mereka tidak ingin Tama mendapatkan jodoh dari tempat yang jauh. Apalagi jika perempuan dari pulau seberang. Mereka sudah tua, mereka ingin anak-anak tetap datang dan pulang setiap tahun, setidaknya setiap lebaran. Jika Tama berjodoh dengan perempuan sekampung, tentu tak erlu risau lagi dengan masalah tersebut. 

"Oh, iya, Pak, Bu, lusa Tama balik ke Jakarta." tiba-tiba Tama menyadarkan ketermanguan bapak dan ibunya. Semua menatap Tama dengan kaget.
"Kenapa secepat itu, Nak?' ucap ibu. Ada kecemasan dalam nada suara ibu.
"Banyak yang harus Tama selesaikan di Jakarta, Bu.Kapan-kapan Bapak dan Ibu kan bisa iku menyusul ke Jakarta," ucap Tama lalu beralih memeluk perempuan berusia 60 tahunan itu dengan penuh cinta. Bapak dan ibu mengangguk mencoba mengerti.

"Kalau Bapak dan Ibu ada waktu, pergilah ke Bukit Tinggi. Lihat kondisi bundo  Laila. Walau bagaimanapun mereka masih besan Bapak dan Ibu," ujar Tama mengejutkan mereka semua. Anak laki-laki mereka telah tumbuh menjadi anak yang baik. Ada rasa haru dan bangga di hati keduanya.
"Ya, Nak. InsyaAllah Bapak dan Ibu akan pergi membezuk." bapak menepuk pundak Tama lembut.
"Tama istirahat dulu ya, Pak, Bu," pamit Tama seraya berdiri.
"Makan lah dulu, Dek," ujar uni Rima mencoba menahan langkah Tama.
"Nantilah, Uni. Tama belum lapar." Uni Rima dan uni Soraya menarik napas berat. Mereka bisa merasakan apa yang dirasakan oleh adek mereka. Tapi apalah yang bisa mereka lakukan. Semua yang terjadi pada Tama benar-benar di luar nalar mereka.

****

Sudah lebih satu minggu bundo dirawat. Belum terlalu banyak kemajuan pada kesehatan bundo. Bundo masih belum bisa bicara. Bibir bundo pun masih terlihat sedikit miring. Syukurnya kaki dan tangan sudah mulai bisa digerakkan, meski masih lemah. Dokter mengatakan dua hari ke depan bundo sudah boleh pulang. Bundo bisa rawat jalan sekali seminggu untuk kontrol dan terapi.

Keempat kaka perempuan Laila selalu bergantian menjaga bundo. Sementara ayah tak pernah beranjak dari sisi bundo. Ayah mengurus bundo dengan telaten dan penuh kasih sayang. Laila masih juga belum bisa dihubungi. Telah puluhan kali keempat orang kakaknya mencoba menelphon dan mengirim sms. Tapi ponsel gadis cantik itu masih juga tak dapat dihubungi. 

Uda Rizal dan uda Rudi juga telah berusaha mencari ke kota Padang. Ke tempat-tempat saudara dan teman-teman Laila. Hasilnya nihil. Laila seperti lenyap ditelan bumi. Mereka sudah kehabisan akal, bagaimana cara menemukan Laila. Padahal mungkin saja dengan kepulangan Laila, kondisi bundo akan lebih membaik.

Sementara itu, di sebuah rumah kos sederhana di pinggiran kota Padang, Laila berdiri di pinggir jendela kamar kosnya. Ditatapnya pantai Padang yang terlihat tenang di siang hari ini. Angin yang berhembus membuat ombak datang dan pergi membawa suara deburan yang begitu indah di telinga. Laila menyukai pantai. Tak pernah bosan ia menatap hamparan biru yang membentang sampai batas langit di ujung sana itu.

Tapi kali ini tak ada ketenangan di hatinya ketika menatap keindahan alam di hadapannya ini. Ada keresahan di dalam hatinya yang tak dapat ia sembunyikan. Dua hari lagi ia akan berangkat ke Jakarta. Ia menerima email, panggilan untuk ikut tes mengajar BIPA ke luar negeri. Pilihannya ada Mesir, Thailand, Uzbekistan, Prancis, Singapura, dan Austarlia. Laila berharapa ia dapat lolos untuk pengajar yang ke Mesir. Dari dulu ia ingin sekali mengunjungi negeri pemilik piramida dan mummi itu. 

Diraihnya ponsel yang beberapa waktu ini tak pernah diaktifkannya. Tangannya gemetar ketika akan menekan tombol hijau. Dadanya bergemuruh. Tapi ia merasa sudah waktunya untuk menhidupkan ponselnya dan berkirim kabar kepada uni Feni. Ia harus mengatakan kondisinya saat ini baik-baik saja. Laila yakin semua keluarganya pasti sedang mencemaskan dirinya saat ini.

Bunyi khas ponselnya menambah kencang degup di dada Laila. Lampu layar di depannya pun menyala. Lalu tak menunggu lama, puluhan notifikasi memenuhi layar ponselnya. Puluhan panggilan tak terjawab dan puluhan sms. Laila membuka salah satu smssms dari uni Feni.
Deg. Jantungnya serasa berhenti berdetak membaca isi sms tersebut. Bulir-bulir air mata membasahi pipi mulusnya.

"Pulanglah untuk beberapa saat dek, meski ada atau tak ada lagi harapan untuk Bundo."
Laila terisak. Apa yang terjadi dengan bundo? Apakah ini hanya akala-akalan uni feni saja? Apakah ini hanya sekedar gertakan? Tapi kalau sms itu benar, kalau bundo sedang kenapa-kenapa, kalau kondisi bundo sedang tidak baik-baik saja? Apakah ia akan bisa memaafkan dirinya jika sesuatu yang buruk terjadi pada bundonyo? Wanita terbaik yang amat dikasihinya?

Laila membereskan beberapa helai pakaian dan jilbabnya lalu memasukkannya ke dalam ransel. Dengan tergesa, ia menelphon travel ke kampungnya. Aapaun yang terjadi, ia harus pulang. Laila tak mau jadi anak durhaka. Teringat kasih sayang bundo padanya, kesabaran bundo, perjuangan bundo membesarkannya, menyekolahnnya. Laila kembali terisak. Ia merasa telah begitu jahat pada perempuan berhati mulia itu.

****

Senja telah turun. Temaram membuat suasana kampung Laila terlihat sendu dan senyap. Laila melangkahkan kaki memasuki halaman rumahnya. Dadanya bergemuruh kencang membayangkan apa yang akan dihadapinya nanti di dalam rumah. Dengan kaki gemetar, Laila membuka pintu dan melangkahkan kaki memasuki rumah. Ayah, bundo dan keempat kakak Laila sedang berkumpul di ruang keluarga. Sementara riuh suara anak-anak terdengar dari arah pavilium.

Laila terpana, tatapannya terpaku pada sosok bundo yang sedang duduk di kursi roda. Tak dapat ditahannya air mata yang mengalir deras di kedua pipinya. Laila melemparkan tas ranselnya dan berlari memeluk ibunda terkasihnya.
"Bundo, maafkan Laila. Maafkan Laila." jeritt Laila pilu. Bundo diam tak bergeming. Hanya air mata yang menetes di kedua sudut mata wanita yang sudah mulai terlihat tua dimakan usia. Tubuh Laila luruh ke lantai. Ia memegang kedua kaki bundo. Tangan bundo terangkat pelan, lalu menyentuh puncak kepala anak gadisnya yang tertutup jilbab.

Semua mata terpaku melihat adegan di depan mereka. Tak ada yang dapat menahan isak tangis melihat Laila dan bundo. Ayah pun hanya mampu terdiam. dadanya terasa berat. Kemarahan yang terpendam sejak beberapa waktu lalu, entah mengapa menguap begitu saja melihat kondisi anak gadis yang teramat dicintainya itu.

Laila lalu bangkit dan mendekati ayahnya. Tubuh Laila kembali luruh di depan ayahnya.
"Ayah, antarkan Laila ke rumah suami Laila." suara Laila terdengar begitu lirih namun juga terdengar penuh keyakinan. Ayah menyentuh kedua pundak Laila, dan mengangkatnya ke atas. Lalu direngkuhnya tubuh anak gadis yang amat disayanginya itu ke dalam pelukannya. Ayah kembali menangis. Padahal dulu ayah adalah laki-laki yang begitu pantang mengeluarkan air mata. Begitu juga dengan keempat kakak Laila, mereka terisak dalam diam.

*****

Ayah dan Laila berdiri di depan pintu rumah yang terlihat begitu megah. Tak salah orang kampung mengatakan laki-laki muda ini merupakan perantau yang telah sukses. Ayah mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Sementara Laila hanya menunduk, meremas tangannya yang terasa begitu dingin. Debaran di dadanya begitu heboh, membuat ia berkeringat dingin.

Tak lama kemudian pintu besar di depan mereka terbuka. Sosok laki-laki gagah itu berdiri di hadapan mereka. 
"Assalammualaikum, Nak Tama," Bapak mencoba menatap wajah Tama yang terlihat amat terkejut. Bapak menggenggam tangan Laila dengan erat mencoba memberi kekuatan pada anak gadisnya itu.
"Waalaikumsalam, Pak." Sejenak mereka sama-sama terdiam. Terasa begitu canggung.

"Maaf, Nak Tama. Ada yang perlu Ayah bicarakan dengan Nak Tama," ucap ayah menyadarkan ketermanguan Tama.
"Oh iya, Pak. Maaf. Silakan masuk, Pak." Tama membuka daun pintu lebih lebar dan memberi jalan pada ayah dan Laila. Ayah melangkahkan kakinya memasuki rumah Tama tanpa melepaskan genggaman tangannya pada Laila. Sementara tangan ayah satu lagi mendorong travel bag milik anak gadisnya itu.

"Silakan duduk, Pak." Ayahpun mengambil posisi di depan Tama. Laila ikutan duduk di samping ayahnya. Ruang tamu yang besar itu terlihat begitu indah dan mewah. Tapi suasana terasa begitu sepi.

"Maksud kedatangan Ayah ke sini adalah ingin mengantarkan Laila kembali pada Nak Tama." Ayah mencoba menatap wajah menantu di depannya. Tapi ekspresi wajah  Tama terlihat sulit untuk diartikan. Semenatar Laila tak pernah mengangkat wajahnya dari tadi. Ia masih tak melapaskan genggaman tangan ayahnya. Entah mengapa hatinya begitu ketakutan menghadapi semua ini. Tak ada lagi kehebatannya, keberaniannya, kekonyolannya menghadapi berbagai hal-hal sulit seperti yang selama ini ia lakukan.

Tama masih terdiam. Kejutan kali ini tak jauh berbeda dengan kejutan pertama yang dilakukan gadis di hadapannya ini. 
"Tapi, sebelumnya ayah ingin memastikan dulu pada Nak Tama." Ayah berhenti sejenak. Laki-laki tua itu berusaha mengumpulkan oksigen sebanyak-banyaknya dan mengisi paru-paru serta rongga dadanya penuh-penuh, agar sesak itu sedikit berkurang.
"Apa itu, Pak?"
"Apakah Nak Tama belum mentalak Laila?"
Tama tertegun .

*bersambung .....*
Sruput kopinya☕

*Masih Adakah Sorga Untuk Ku*

*C E R B U N G*
 *Masih_Adakah_Surga_Untukku*
By Laila

*episode_1*

Pesta telah usai. Malampun mulai menjelang. Aku masuk kamar ingin segera menghapus riasan di wajah yang membuatku tidak nyaman. Ingin mengganti baju pengantin yang membuatku merasa sesak dan gerah. Perasaan hati tentu ikut berpengaruh terhadap semua yang melekat di tubuh ini. Terlebih dahulu Laila mengunci pintu kamar sebelum menanggalkan semua yang melekat di tubuhnya. Lalu secepat mungkin ia membersihkan diri di kamar mandi. Baru saja ia selesai memakai pakaian tidur yang panjang, Laila mendengar ketukan di pintu kamar. Laila pun segera menyambar jilbab instannya sebelum membuka pintu.

Laki-laki yang telah resmi menjadi suaminya iang tadi berdiri tepat dihadapannya  ketika ia membuka pintu kamar. Laila menggeser tubuhnya memberi jalan pada laki-laki yang masih mengenakan baju pengantinnya itu. Mereka berdua terlihat begitu canggung. Namun tak ada debaran atau rasa merona seperti yang biasa didengar Laila dari teman-temannya yang bercerita tentang malam pertama mereka. 

"Aku ganti baju dulu ya ke kamar mandi, kamu kalau mau duluan tidur, tidur aja," ucap laki-laki bernama Tama itu.
"Ya, Bang," jawab Laila seraya menutup pintu kembali. Lalu dilihatnya laki-laki itu mengambil pakaian dari dalam travel bagnya yang berada di sudut kamar. Setelah dilihatnya Tama masuk kamar mandi, laila pun bergegas ke luar kamar. Ia akan melaksanakan sholat isya di ruang sholat saja.

Setelah sholat isya, Laila kembali menuju kamarnya. Rumah terlihat sudah sepi. Pastilah semua sudah beristirahat karena lelah seharian mengurus pestanya. Sampai di kamar, Laila melihat Tama sedang sholat. Laila pun segera naik ke atas tempat tidur, mengambil posisi paling pinggir arah ke tembok.
Tanpa membuka jilbabnya, laila mencoba tidur karena ia merasa tidak perlu menunggu laki-laki itu selesai sholat. Ia menyelimuti seluruh tubuhnya sampai ke leher. Udara malam terasa mulai dingin.

Kampungnya memang terletak di sebuah lereng gunung. Gunung sago namanya. Sehingga udara di kampungnya ini masih terasa begitu dingin. Apalagi nanti jika sebelum subuh, dinginnya membuat tubuh menggigil. Tidak berapa lama, Laila merasakan tempat tidur di sampingnya bergerak. Berarti laki-laki itu telah ikut merebahkan tubuhnya di samping Laila. Laila tadi telah menyediakan selimut satu lagi untuk suaminya itu, agar mereka tak perlu berbagi selimut.

Tidak berapa lama, Laila mendengar dengkuran halus dari laki-laki di sampingnya. Laila kembali telentang. Ditatapnya langit-langit kamar. Pikirannya menari-nari tak tentu arah. Mengapa begini tragis nasibnya. Menikah dengan laki-laki yang tidak dicintainya. Jangankan cinta, bertemu juga baru beberapa kali. Bagaimana ia akan menjalani hari-hari dengan seseorang yang dicintainya sama sekali?

Laila menoleh ke samping. Ditatapnya laki-laki yang telah tertidur lelap di sampingnya. tak ada getaran sedikitpun di hatinya berdekatan dengan laki-laki ini. Tak ada sedikitpun rasa senang apalagi bahagia mengingat ia telah menjadi seorang istri. Yang ada hanya rasa kecewa, sakit, benci dengan semua yang telah ia alami. Tidak pernikahan seperti ini yang Laila harapkan. Laila ingin menikah dengan laki-laki yang mencintainya dan dicintainya. Menjalani ijab kabul dengan suka cita, bersanding di kursi pengantin dengan penuh kebahagiaan, dan melewati malam pertama dengan debaran dan kepuasan.

Sebulir cairan bening mengalir dari sudut-sudut mata Laila. mengapa begitu sakit rasanya. Ia tak ingin menghabiskan hari-harinya dengan orang yang tidak dicintainya. Laila ingin melewatkan hari-hari dengan tawa, canda, kemanjaan dengan laki-laki yang dicintainya. Bukan dengan laki-laki di sampingnya ini.

Malam makin larut. Tapi mata Laila belum  juga terpejam. Terbayang kehidupan kelima saudara perempuannya. Semuanya menikah krena perjodohan. Bundo dan ayah Laila adalah orang-orang yang memegang teguh agama. Sehingga tak ada satupun anak-anaknya yang dibolehkan berpacaran. Semua menikah atas pilihan mereka. Ayah dan Bundonya juga orang yang masih kolot memegang adat. Mereka hanya mau bermenantu orang dari kampung sendiri. 

Laila bisa melihat kehidupan kelima kakak perempuannya begitu monoton. Tak ada yang menarik. Meski memang kehidupan kelima kakaknya dekat dengan agama dan secara materi tak ada yang kekurangan. Tapi Laila ingin sesuatu yang berbeda. Laila ingin kehidupan yang lebih berwarna. Dari kecil, Laila memang terlihat berbeda dari kelima kakak perempuannya. Laila adalah gadis yang ceria, pintar, sedikit susah diatur. Ia selalu bisa melakukan negosiasi dengan Ayah dan Bundonya jika memiliki suatu rencana atau keinginan. Sehingga akhirnya bisa meluluhkan hati kedua orang tuanya.

Tapi tidak untuk yang satu ini. Untuk urusan perjodohan, laila tidak bisa meluluhkan hati kedua orang tuanya. Berbagai cara telah dilakukan Laila untuk menolak dan membatalkan perjdohannya dengan laki-laki yang katanya pengusaha tekstil di Tanah Abang, Jakarta. 

Laila sebenarnya juga sudah berusaha membuka hatinya untuk laki-laki berusia 30 tahun ini. Tetapi, tak ada sedikitpun rasa di hatinya untuk laki-laki ini. Laila menghapus air mata di kedua pipinya. Pelan ia bangkit. Dilihatnya jam tangan di atas meja riasnya. Pukul 02.30. Laila membuka lemari pakaiannya. Mengambil beberapa gamis , jilbab pasmina instannya, beberapa pakaian dalamnya dan memasukkannya ke dalam sebuah ransel. Laila melakukannya dengan begitu pelan dan hati-hati. Diliriknya Tama yang tak sedikitpun terganggu dengan gerakannya. Pastilah laki-laki ini begitu lelah sehingga tidur dengan begitu nyenyaknya. 

Laila mengambil secarik kertas dan pena. Dengan tergesa ia menuliskan sesuatu di kertas tersebut. Lalu meletakkannya di atas meja riasnya. Setelah itu Laila membuka pintu kamar tidurnya dengan hati-hati. Dilewatinya ruang keluarga dan ruang tamu dengan dada berdebar-debar. Lalu dibukanya pintu depan dengan tangan gemetar. Laila ke luar dari rumah dengan mengendap-endap. Sedikit bergegas, Laila melewati halaman rumahnya yang lumayan luas. Dengan berjingkat iapun berhasil keluar dari pagar rumahnya. 

Tujuan Laila adalah ke rumah uni Feni. Kakaknya yang nomor tiga. Dibanding keempat kakaknya yang lain, uni feni lah yang paling dekat dengan Laila dan yang paling tidak tegaan orangnya. Jarak rumah uni Feni dengan rumah orang tua mereka hanya 300 meter. Tidak berapa lama, Laila telah sampai di depan rumah uni feni. Dibukanya pintu pagar dengan hati-hati. Masih dengan debaran dada yang tidak menentu, Laila mengetuk jendela kamar uni Feni. 

Tidak menunggu lama, Laila mendengar suara pintu kamar dibuka. Laila menunggu di depan pintu sampin rumah uninya agar tak ada yang melihat kedatangannya di rumah kakaknya ini dimalam buta seperti ini.
"Laila!" uni feni kaget melihat adik bungsunya telah berdiri di hadapannya dnegan sebuah ransel di punggungnya. 
"Ada apa, dek" uni Feni menarik tangan Laila untuk masuk.
"Uni, tolong Laila, Ni. Laila ga bisa, Ni." Laila menangis dan tubuhnya luruh di lantai. Uni Feni ikut menangis melihat adiknya. Hal ini pernah dirasakannya 12 tahun yang lalu. Tapi ia wanita yang hanya bisa menerima takdir hidupnya dengan sabar dan iklas. 

"Jangan seperti ini, dek" parau suara uni Feni merengkuh bahu Laila. Mereka berpelukan dalam tangisan.
"Laila ga bisa, Uni. Bukan hidup seperti ini yang Laila harapkan. Laila bukan Uni Lili, bukan uni Rini, bukan uni Feni, ataupun uni Maya dan uni Linda," kerongkongan Laila terasa sakit mengucapkan kata-kata itu. Uni Feni hanya bisa memeluk erat adik bungsunya. Ia bisa merasakan rasa sakit adiknya ini. Karena dulu ia juga pernah merasakannya.

"Aku ingin mengejar impianku, Uni. Aku ingin mendapatkan laki-laki yang aku cintai dan mencintaiku. Aku ingin menikah dengan rasa bahagia. Tolong aku sekali ini saja, Uni. Antarkan aku ke pasar, jam empat nanti ada travel yang menuju ke Padang. Akan aku ingat pertolongan uni ini sampai kapanpun," ucapan Laila mencabik hati uni Feni. Beginikah akhirnya? Mengapa adiknya begitu berbeda dengan kelima kakaknya?

"Uni, tidak bisa Laila. Bagaimana nanti Ayah, Bundo, suamimu, dan seluruh sanak saudara jika kamu pergi meninggalkan suamimu," uni Feni terisak. Ia melepaskan pelukannya dan berdiri dengan tubuh bergetar. Tapi Laila tersungkur dan memegang kedua kaki uninya.

"Laila mohon, uni. Ini takdir Laila. Yakinlah uni, apapun yang akan terjadi, semua pasti atas izin-Nya. Begitu juga dengan jalan hidup yang harus Laila jalani," Laila tak melepaskan kedua kaki uninya.

"Jangan begini, Laila. Uni mohon, jangan seperti ini," dada uni Feni terasa begitu sakit. Ia begitu terluka melihat adiknya seperti ini. Adiknya yang biasanya selalu ceria, yang selalu bisa membuat suasana jadi penuh tawa, yang selalu punya ide-ide cemerlang untuk keluarga besar mereka. Laila yang pintar, yang baik hati, yang disukai oleh orang-orang diseklilingnya. Tak ada masyarakat di sekitar mereka yang tidak menyukai Laila. Karena Laila selalu ramah pada siapa saja. Ia selalu siap membantu orang-orang kampung yang membutuhkan bantuannya.

Uni feni tiba-tiba mengambil jilbab instannya dan menyambar kunci motornya dengan tergesa.
"Ayo," ucapnya dengan suara bergetar. Laila mengerjab tak percaya. Dengan cepat, Laila mengikuti uninya ke luar. Feni mendorong motornya ke luar pagar rumahnya dengan pelan. Setelah di laur pagar ia pun menghidupkan mesin motornya. Dengan sigap Laila naik ke boncengan uninya. Motor pun melaju dalam dinginnya malam. Laila memeluk pinggang uninya dengan erat.

Dua puluh menit mereka sampai di pasar. Benar ternyata, ada travel yang akan segera berangkat menuju ke Padang. 
"Terima kasih, Uni," Laila memeluk uninya dengan erat.
"Jaga dirimu baik-baik," uni Feni kembali menghapus air matanya dengan ujung jilbabnya. 
"Ini, sedikit untuk bekalmu, Dek," uni Feni meletakkan beberapa lembar uang 100rb di tangan Laila. Laila menerimanya dnegan terisak. Lalu Laila pun segera naik ke atas travel yang telah berisi tiga orang penumpang. Feni pun segera menghidupkan motornya dan segera berlalu pulang.

Air matanya tak henti mengalir. Ia tak tahu, apakah yang telah dilakukannya ini salah atau benar. Tapi sungguh ia tidak tega melihat luka di mata adiknya itu. Laila gadis yang baik. Ia pantas bahagia.

****

Rumah besar bundo Laila heboh setelah sholat subuh. Tama menyerahkan surat yang ditinggalkan Laila kepada wanita berusia 60 tahun itu. Bundo luruh ke lantai setelah membaca surat singkat dari Laila untuk suaminya. Tak ada kata yang keluar dari mulut wanita yang terkenal sabar luar biasa itu. Tapi, tiba-tiba tubuh wanita yang telah melahirkan enam orang anak perempuan itu menegang. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi tak ada kata yang bisa keluar dari mulutnya.

"Bundo!" uni Lili yang tidur di rumah besar karena ia memang tinggal di luar pulau, merengkuh tubuh wanita terkasihnya itu.
"Bundo, isttighfar, Bundo," uni Lili menciumi wajah bundonyo dengan pipi yang telah basah oleh air mata. Tangan bundo menunjuk-nunjuk ke pintu depan. Tapi masih saja tak ada suara yang keluar dari mulutnya. Wanita itu merasakan kedua belah kakinya kaku tak bisa digerakkan. 

Ayah berteriak memanggil seisi rumah. Tama yang tadi telah masuk kamar untuk membereskan barang-barangnya,segera
ke luar mendengar suara teriakan ayah mertuanya. Tak bisa ia gambarkan bagaimana perasaannya saat ini. Ditinggalkan oleh wanita yang telah resmi menjadi istrinya itu di malam pertama mereka. Rasa marah, sakit, dan kecewa mencabik-cabik harga dirinya sebagai seorang laki-laki. Tama tahu, belum ada cinta di hati Laila untuknya, begitu juga sebaliknya, belum juga ada cinta di hatinya untuk perempuan cantik itu. Tapi pantaskah Laila melakukan hal ini padanya? 

Kalau ia memang itdak menginginkan pernikahan ini, kalau memang ia menolak pernikahan ini, kenapa ia tak melakukannya dari awal? Mengapa ia tak mengatakannya sebelum ijab kabul? Mengapa baru sekarang? Apa salah dirinya yang membuat perempuan itu melakukan hal sekejam ini padanya. Di mana akan disurukkannya rasa malu ini. Bagaimana ia akan menjawab pertanyaan sanak saudaranya, teman-temannya, pegawai-pegawainya di Jakarta sana.

"Tolong, Nak Tama. Tolong bawa Bundo ke rumah sakit,' suara memohon ayah mertuanya menyadarkan Tama dari lamuannnya.
"Iya, Pak. Ayo kita bawa ibu ke mobil," Tama bergegas membantu wanita yang telah resmi menjadi mertuanya itu ke mobil. Tama memang telah mengantongi kunci mobilnya dari tadi begitu mendapatkan surat dari Laila. Tama tadi telah berniat untuk segera pergi juga meninggalkan rumah besar mertuanya ini. Tapi tentu ia tidak akan bisa membiarkan wanita yang telah melahirkan istrinya itu tak tertolong. Walau bagaimanapun perasannya saat ini, Tama harus melupakannya untuk sejenak.

Setelah membaringkan bundo Laila di kursi tengah dengan kepalanya dipangku uni Lili dan uni Rini, Tama pun segera menjalankan mobilnya ke luar halaman rumah. Ayah Laila telah duduk di samping Tama dengan mata basah. Ia begitu khawatir dengan kondisi istrinya saat ini. Untuk sejenak laki-laki tua yang masih terlihat gagah itu melupakan masalah anak bungsunya Laila. Uda Rudi suami uni Lili dan uda Akmal suami uni Rini ikut serta ke rumah sakit. Mereka berdua menyusul dengan mobil sendiri dan singgah dulu ke rumah uni Feni untuk memberitahukan kondisi bundo. 

Uni Feni seketika pucat mendengar berita yang disampaikan kedua kakak iparnya itu. Berdua dengan suaminya, uni Feni ikut ke rumah sakit. Keempat anaknya ditipkannya kepada kedua mertuanya yang beberapa malam ini menginap di rumah mereka karena menghadiri pesta Laila.

Air mata Feni kembali mengalir. Berarti apa yang telah dilakukannya dini hari tadi adalah kesalahan besar. Ia mencoba menghubungi ponsel Laila, tapi seperti dugaannya, ponsel adiknya itu sudah tidak aktif lagi. Feni menutup mulutnya menahan isak tangis. Ia merasa sangat berdosa kepada bundonyo. Uda Rizal memeluk pundak istrinya, merengkuh tubuh wanita yang sedang berduka itu ke dalam pelukannya.

"Sudah, jangan menagis terus. Lebih baik umi doakan bundo ya, semoga bundo baik-baik saja," suara uda Rizal terdengar lembut. Feni mengucapkan istighfar dalam hati. Lalu ia mulai merapalkan doa untuk bundo tercintanya. Semoga bundo masih dilindungi oleh Allah swt. Feni tidak ingin Laila menjadi anak durhaka jika sesuatu yang buruk terjadi pada bundo mereka. Membayangkan semua itu, wanita cantik ini kembali terisak. Uda Rizal kembali mengeratkan pelukannya. Diciumnya kening istrinya dengan penuh kasih. 

Mereka juga dulu dijodohkan. Awal pernikahan terasa begitu berat. Tak ada sedikitpun rasa di antara mereka. Tapi Feni, wanita yang cantik dan baik. Tak ada alasan bagi Rizal untuk tidak belajar menyukai dan mencintai wanita di sampingnya ini. Sejalan berlalunya waktu, melewatkan hari-hari bersama, tidur dan makan berdua, akhirnya getaran dan rasa cinta itu mulai tumbuh sedikit demi sedikit. Begitu indah proses mencinta mereka dalam ikatan yang halal. Dan saat ini, tak ada celah lagi di dada masing-masing yang tak berisi cinta dan kasih buat salah satu di antara mereka. Hidup mereka penuh tawa dan bahagia. Meski tentu juga ada ujian dan air mata.

****

Tak butuh waktu lama mereka semua sampai di rumah sakit umum di kabupaten. Semuanya bergegas membantu menurunkan bundo. Petugas rumah sakit pun cepat tanggap. Bed pasien telah menanti Bundo di depan ruang UGD. Lalu dua orang perawat dan seorang sekuriti mendorong bed bundo masuk keruang UGD. Sesampai di ruang UGD, dokter yang berjaga segera menangani bundo. Mata bundo masih terbuka, tapi tangan dan kaki bundo masih tak bisa digerakkan. Suara pun tak bisa keluar dari mulut bundo.

Uni Lili, uni Rini, uni Feni dan uni Linda yang juga telah datang menyusul dengan suaminya bertangisand di ruang tunngu UGD. Mereka memang diminta untuk menunggu bundo di luar, agar dokter dan perawat bisa lebih leluasa memeriksa bundo.

Feni melirik Tama yang berdiri di samping meja resepsionis. Ekspresi wajahnya sulit diartikan. Lalu ketika Tama mengedarkan pandangannya ke arah ia dan saudara-saudaranya duduk, Feni menundukkan kepalanya. Ada rasa bersalah di hati Feni karena telah membantu Laila kabur.  Bagaimanakah perasaan laki-laki tampan itu? Mengapa Laila merasa tak teratrik sedikitpun pada laki-laki ini? Padahal secara fisik, laki-laki ini memilki syarat untuk digilai kaum wanita. Apalagi Feni dengar, adik iparnya ini juga seorang pengusaha yang sukses di Jakarta. Harusnya Laila belajar membuka hatinya untuk laki-laki yang telah resmi menjadi suaminya ini. Sepertinya terlalu cepat Laila menyerah.

Ah, akan kemanakan adik bungsunya itu sebenarnya?

*Bersambung*
Sruput kopinya☕

Selasa, 26 November 2019

MAKAN BUAH BUAHAN

*MAKAN BUAH SAAT PERUT KOSONG*

Dokter STEPHEN MAK merawat pasien kanker stadium akhir dengan cara unik. Banyak pasiennya sembuh. "Ini merupakan strategi saya untuk menyembuhkan kanker. Tingkat keberhasilannya 80 persen," tegas Mak.

Pasien kanker seharusnya tidak mati. Terapi anti kanker sudah ditemukan yakni makanlah buah-buahan saat perut kosong atau sangat lapar. "Saya mohon maaf kepada ratusan pasien kanker yang telah meninggal akibat pengobatan konvensional," pungkasnya.

TIPS MAKAN BUAH yang TEPAT

*Hindarilah* makan buah setelah makan nasi dan lauk. Cara ini sangat dilarang atau 'haram,' jikalau Anda ingin bebas dari serangan kanker dan penyakit mematikan lainnya.

Jika Anda makan buah saat perut kosong, maka detoksifikasi sistem tubuh Anda meningkat berkali-kali lipat. Problem kelebihan berat badan dan penyakit mematikan lainnya teratasi.

DAHSYATnya BUAH-BUAHAN

Jika Anda makan nasi, lalu menyusul buah, maka buah dicegah oleh nasi sebelum menuju usus. Nasi dan buah membusuk, berfermentasi, dan berubah menjadi asam. Tubuh yang sangat asam penyebab kanker dan penyakit mematikan lainnya.

Saat buah bersentuhan dengan nasi di usus, maka seluruh massa nasi perlahan rusak. Jadi, silakan makan buah saat perut kosong atau sebelum makan nasi dan lauk.

EFEK SALAH MAKAN BUAH

Mungkin Anda pernah mendengar keluhan yakni setiap kali makan semangka, ada orang menderita sendawa, ketika makan durian perutnya kembung, ketika makan pisang rasanya segera ke toilet, dan lainnya. Kondisi ini tidak bakal terjadi, jikalau Anda makan buah apa saja saat perut kosong. Karena buah-buahnya bercampur dengan pembusukan makanan lain, sehingga menghasilkan gas dalam usus.

Rambut uban, rambut rontok, botak, gugup, dan lingkaran hitam di bawah mata tidak akan terjadi, jikalau Anda makan buah saat perut kosong.

"Jeruk dan lemon bersifat asam, tetapi menjadi alkalin (basa) di dalam tubuh, jikalau dimakan saat perut kosong," ulas dokter HERBERT SHELTON yang melakukan riset khusus tentang asam basa tubuh.

BUAH UMUR PANJANG dan SEHAT

Jika Anda menguasai cara makan buah yang benar, maka Anda memiliki rahasia keindahan tubuh, umur panjang, kesehatan, vitalitas, kebahagiaan, dan berat badan ideal.

BAHAYA BUAH yang DIPANASKAN atau DIMASAK

Saat Anda minum jus buah, minumlah jus buah segar, bukan dari kemasan kaleng, bungkusan, atau botol.

Jangan minum jus yang dipanaskan. Jangan makan buah yang dimasak, karena semua nutrisi sudah hilang. Anda hanya mendapatkan rasanya saja. Memasak buah-buahan akan menghancurkan semua vitamin yang ada dalam buah. Makan buah utuh lebih baik dari pada minum jus.

Jika pun Anda minum jus buah segar, minumlah dengan perlahan, karena Anda harus membiarkannya bercampur dengan air liur (ensim di mulut) sebelum menelannya.

TERAPI BUAH TIGA HARI BERTURUT-TURUT tanpa NASI dan LAUK

*Silahkan* Anda coba mengkonsumsi buah selama 3 hari berturut-turut untuk membersihkan semua racun (detoksifikasi) di tubuhnya---hanya makan buah dan minum jus buah segar selama 3 hari berturut-turut tanpa makan nasi dan lauk. Teman-teman Anda akan melihat Anda lebih segar, cantik, dan enerjik.

BAHAYA MINUM AIR DINGIN setelah MAKAN: PEMICU KANKER

Jika Anda *sering* minum *air dingin* (air es) setelah makan, maka tamatlah hidup Anda. Karena semua jenis kanker siap menghancurkan tubuh Anda.

Minum air es setelah makan sangatlah nikmat, tetapi sangatlah membawa sengsara. Air es mengentalkan semua makanan berminyak yang baru saja Anda makan. Akibatnya proses pencernaan menjadi sangat lambat. Usus akan sangat cepat rusak, karena memaksa kerjanya.

Lebih dari itu, makanan berlemak dan telah membeku akan melapisi dinding usus Anda, sehingga perlahan memicu kanker usus.

Tentu saja Anda akan semakin gemuk dan sekaligus perlahan menginap kanker ganas. Karena itu, minumlah sup hangat atau air hangat setelah makan.

Semakin Anda tahu, semakin besar peluang Anda untuk bertahan hidup, sehat, dan umur panjang tanpa biaya mahal.

*VIRALKAN* informasi di atas terutama kepada KELUARGA dan rekan-rekan Anda.

*BAHAGIA_SUKSES*
*"SAVE Health, SAVE Future."*

Sumber Solusi hidup sehat

Senin, 25 November 2019

DO'A SELAMAT DARI MATI MENDADAK

*DO'A SELAMAT DARI MATI MENDADAK*

*CUKUP DIBACA SEKALI SEUMUR HIDUP*

*MARI KITA BACA SEKARANG JUGA* *!*
Do'a keselamatan dari kematian mendadak. 

Di riwayat kan dari Rasululloh saw, bahwasanya Alloh swt berfirman: 
*Wahai (Kekasihku) Muhammad,tidak ada seorang pun dari Ummat Mu yang membaca do'a ini walaupun sekali dalam umur nya kecuali dengan kemulyaan dan keagungan Ku,*

*Aku akan menjamin untuk nya tujuh perkara* *:*
*1*: Aku akan angkat kefakiran dari nya.
*2*: Aku akan amankan dia dari pertanyaan Mungkar dan Nakir.
*3*: Aku akan tuntun jalan nya di Shirat.
*4*: Aku akan menjaga nya dari kematian mendadak.
*5*: Aku akan haramkan neraka atasnya.
*6*: Aku akan menjaga nya dari himpitan kubur.
*7*: Aku akan melindungi nya dari kemurkaan raja yang jahat dan dzalim.

*BERIKUT INI DO'ANYA* *:*

لَا اِلـهَ اَلٌَااللٌَهُ اَلْجَلِیْلُ الْجَبٌَارُ
*Laa ilaaha illalloohul jaliilul jabbaar,*
لَا اِلهَ اِلاّ اللهُ الْوَاحِدُ الْقَهٌَار
*Laa ilaaha illalloohul waahidul qohhaar,*
ُلَا اِلهَ اِلاّ اللهُ الْکَرِیْمُ السٌَتٌَار
*Laa ilaaha illalloohul kariimus sat taar,* 
لَا اِلهَ اِلاّ اللهُ الْکَبِیّرُ الْمُتَعَال
*Laa ilaaha illalloohul kabiirul mutta 'aal* 
لَا اِلهَ اِلاّ اللهُ وَحْدَهُ لَا شَریکَ لَهُ اِلَهًا وَاحِدًا رَبًٌا وَ شَاهِدًا اَحَدًا وَصَمَدًا وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُوْنَ
*Laa ilaaha illalloohu wahdahu laa syarii ka lahu ilahan wahidan robban wa syaahidan ahadan wa shomadan wa nahnu lahu muslimuun,*
لَا اِلهَ اِلاّ اللهُ وَحْدَهُ لَا شَریْکَ لَهُ اِلَهًا وَاحِدًا رَبًٌا وَ شَاهِدًا اَحَدًا وَصَمَدًا وَنَحْنُ لَهُ عَابِدُوْن
*Laa ilaaha illalloohu wahdahu laa syarii ka lahu ilahan wahidan robban wa syaahidan ahadan wa shomadan wa nahnu lahu 'aabiduun,*
َلَا اِلهَ اِلاّ اللهُ وَحْدَهُ لَا شَریکَ لَهُ اِلَهًا وَاحِدًا رَبًٌا وَ شَاهِدًا اَحَدًا وَصَمَدًا وَنَحْنُ لَهُ قَانِتُوْن
*Laa ilaaha illalloohu wahdahu laa syarii ka lahu ilahan wahidan robban wa syaahidan ahadan wa shomadan wa nahnu lahu koonituun,*
َلَا اِلهَ اِلاّ اللهُ وَحْدَهُ لَا شَریکَ لَهُ اِلَهًا وَاحِدًا رَبًٌا وَ شَاهِدًا اَحَدًا وَصَمَدًا وَنَحْنُ لَهُ صَابِرُوْنَ
*Laa ilaaha illalloohu wahdahu laa syarii ka lahu ilahan wahidan robban wa syaahidan ahadan wa shomadan wa nahnu lahu shoobiruun,*
لَا اِلهَ اِلاّ اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّه
*Laa ilaaha illalloohu muhammadan rosuululloh,*
اللَّهُمَّ اِلَیْکَ فَوٌَضْتُ اَمْری،
، وَعَلَیْکَ تَوَكَّلْتُ يَا اَرْحَمَ الرٌَاحِمٍیْنَ. 
*Allohumma ilaika fawadh'tu amrii,wa 'alaika tawak kaltu yaa arhamar roohimiin,*
اللَّهُمَّ صَلٌِ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ كَما صَلٌَیْتَ عَلَى اِبْرَاهِیْم وَآلِ اِبْرَاهِیْم اِنٌَکَ حَمِیْدٌ مَجِیْدُ
*Allohumma sholli 'alaa Muhammad wa ali muhammad kamaa shollaita 'alaa ibroohiim wa ali ib'roohiim innaka hamiidum majiid,*
وَبَارِکْ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ كَما بَارَکْتَ عَلَى اِبْرَاهِیْم وَآلِ اِبْرَاهِیْم فِي الْعالَمينَ اِنٌَکَ حَمِیْدٌ مَجِیْدُ. 
*Wa baarik 'alaa muhammad wa ali muhammad kamaa barokta 'alaa ibroohiim wa ali ibroohiim fil 'aalamina innaka hamiidum majiid.*

Kirim ke 10 orang dalam 1 jam anda telah mendapatkan pahala 10 juta sholawat pada *Baginda Muhammad SAW* dalam buku catatan amal anda dengan izin *Allah SWT*, maka sebarkanlah agar bermanfa'at bagi teman,rekan sahabat dan kerabat anda sempatkan juga komentar aamiin.....
*Wassalamu'alaikum wr.wb*...🙏

BAGIKAN SEBANYAK BANYAKNYA

Sabtu, 02 November 2019

Politik Tikus

POLOTIK KARUNG TIKUS*

Seorang insinyur Pertanian Menceritakan Pengalamannya. Suatu kali ketika ia Bertugas di sebuah kampung, ia menaiki Kereta Api menuju Cairo. Di sebelahnya duduk seorang Petani Tua penduduk kampung itu. 

Sang insinyur Memperhatikan di bawah kaki Petani Tua itu ada Sebuah Karung Goni. Di sela-sela perjalanannya, setiap Seperempat Jam ia membolak-balikkan karungnya. Dia aduk-aduk isi yang ada di dalamnya setiap beberapa saat. Setelah itu ia Susun Rapi lagi Barang Bawaannya itu. Begitulah yang ia lakukan Sepanjang Perjalanan.

Menyaksikan Hal itu Bapak insinyur Merasa Heran Dengan Tingkah  Petani Tua.Lalu Dia Memberanikan Diri Untuk Bertanya.

Bagaimana Ceritanya Karung ini, Tanya insinyur...???

Petani Tua itu Menjawab: Aku Menangkap Beberapa Ekor Tikus Untuk Aku Jual ke Pusat Penelitian di Cairo, yang akan digunakan sebagai Bahan Percobaan ilmiah. 

Terus Kenapa Bapak membolak balikkan Karung ini dan Menggoyang-goyangnya setiap beberapa saat,?? tanya insinyur dengan Penuh Keheranan .

Petani Tua : Karung ini Berisi Tikus-tikus. Bila Aku Biarkan Karung ini Tanpa Digoyang dan dibolak-balik, Tikus yang ada di dalamnya akan Merasa Tenang. Dia Akan Berhenti Dari Rasa Takut. Bila itu Terjadi Dalam Waktu Cukup Lama Setiap Tikus Akan Berusaha Menggigit dan Melubangi Karung ini. Karena itu Aku Selalu Menggoyangnya Setiap Seperempat Jam Supaya Mereka Terganggu dan Merasa Ketakutan. Mereka Akan Sibuk Selalu Dengan Berbenturan Sesama Mereka dan Mereka Tidak Punya insting Untuk Melubangi Karung ini Sampai Aku Berhasil Membawanya ke Pusat Penelitian. 

Mendengar Penjelasan Petani Tua itu Lidah Bapak insinyur Menjadi Kelu. *Dari Cara Berpikir Si Petani Tua Tanpa Sengaja Dia Sudah Menjelaskan Dengan Gamblang Bagaimana Politik & Falsafah Barat Dalam Mengaduk-aduk Negera Islam*. 

Setiap Kali Umat Islam Merasakan Ketenangan Dibikinkan Masalah Yang Akan Menggoncang Ketentraman Hidup Mereka. #Disebar #Fitnah Di sana, #Ditebar #Kecemasan Di sini, Dibikin Masalah Di berbagai Tempat, Supaya Mereka Bisa Meneruskan Cengkramannya Terhadap Umat ini di Bawah Semboyan:
"Memerangi Teroris Demi Menciptakan Keamanan di Kawasan".  Dll... 

Akibatnya, Secara Alami #Umat #Menjadi #Terpecah di Balik Permainan Keji Terhadap Emosional Mereka Hingga Mereka Semua Lupa Betapa Pentingnya "#Melubangi #Karung" Demi Kebebasan Mereka Dari Cengkraman Barat Yang Selalu Berusaha Menghisab Kekayaan Milik Mereka. 

Hanya Kepada Allah Swt Tempat Mengadu.... Apa Dayaku Yang Bukan Siapa-siapa...

#Kapanlah #Umat Islam ini #Bersatu Demi Merebut Kembali Kemuliaan & Kejayaannya ...???

Ya Rabby..... Yaa Rabby.... Yaaaaaaa  Rabby.....!!!!!!!
 
SEMOGA BERMANFAAT.

Jumat, 01 November 2019

*Cerita Setelah Jum'atan*

🌍 *Si Gadis, Si Paman Dan Si Pengemudi OJOL* 🇲🇨🍃


Oleh: Abu Taqi Mayestino


Bismillaah.

Setelah Jum'atan, 1 Nopember 2019 ini, di Surabaya, saya mendapatkan hadiah pelajaran dan hiburan dari Allaah. 

Karena aplikasi Ojek OL (OJOL) saya tak berfungsi, saya meminta tolong seseorang memesankan OJOL. Setelah Jum'atan.

Masjid sudah sepi saat itu, saya keluar paling akhir rupanya dari ibadah Jum'atan. Tak ada orang lain di masjid. 

Saya pun duduk di teras masjid. Memikirkan hendak pergi naik apa.

Namun lalu ada seorang gadis berjilbab datang bergegas, naik sepeda motor, hendak sholat Dhuhur kiranya. 

Setelah dia keluar dari masjid, maka saya pun bertanya apakah dia memiliki aplikasi OJOL. Ternyata ada, dan saya meminta tolong dia memesankan OJOL.

Sembari memesan, saya berbasa-basi bertanya dia dari mana, apakah sepulang kuliah? Karena dia sepantaran mahasiswa saya. Siapa tahu dia mahasiswa saya? Itu daerah banyak kampus berada. 

Dia menjawab, sepulang dari wawancara kerja, lalu ke masjid itu, untuk sholat Dhuhur. 

Rupanya dia dari Semarang, lulusan SMA, dan sedang mencari pekerjaan, sampai ke Surabaya! 

Belum dapat pekerjaan juga, sejak lulusnya.

Bahkan dia cemas, karena tadi saat wawancara kerja, pesaingnya, rata-rata adalah lulusan S-1.

Saya maka menjadi tercenung, dan sedih juga, karena ini lah _contoh keadaan rakyat kita._ 

Banyak eks mahasiswa saya juga macam demikian. Cemas, mencari pekerjaan. 

Saya dan para guru dan dosen tentu hanya dapat mempersiapkan mereka, sebaik-baiknya.

Tetapi tak pelak saya ingat, dan berharap, semoga presiden Jokowi _dapat memenuhi janji kampanyenya (sejak 2014), untuk membuka 10 juta lapangan pekerjaan baru._ 

Pekerjaan untuk WNI, dan bukan untuk warga negara lain, tentunya! Dan merata. 

Ada yang beragumen itu sudah diwujudkan, namun yang lain bergumen menyoroti masih banyaknya pengangguran yang didominasi kalangan tertentu, atau bahkan itu tidak benar-benar tercapai, serta ada banyak tenaga kerja asing yang ditengarai masuk Indonesia. 

Wallohua'lam. 😊

Itu satu di antara "66 Janji Kampanye Jokowi 2014" _yang terkenal,_ hingga Iwan Fals (akhirnya) menyanyikannya. 

Dan pihak-pihak lain gencar menuliskannya. Tak terhitung, sudah.

Tentu saja, itu untuk membantu menjadi Mitra Kritis, mengingatkan pak Jokowi (dan timnya). 

Berat risiko agamanya, bagi siapapun, apalagi di Akhirat, jika janji sampai tak ditepati, tentu saja! 😮


Lalu datanglah mas OJOL. 

Saya pun bergegas membonceng motor dia. Berpamitan ke si gadis. 

Brrruuummm!

Saya biasa berbincang-bincang dengan teman seperjalanan, menanyakan nama, asal, dsb., karena ini adalah Sunnah Nabi. Ada haditsnya.

Namanya, rupanya, Sutrisno, dia tinggal di Kedurus. Dan ramah serta suka _ngobrol_ juga (ini juga Sunnah Nabi).

Saya heran juga, karena masjid tempat dia menjemput saya tadi, adalah di sekitar Klampis-Semolowaru, Surabaya. 

Cukup jauh dari tempat tinggalnya, Kedurus!

Saya terkesan akan kegigihannya. Namun jadi iba juga akan hal ini.

Dan lagi-lagi saya jadi ingat 66 Janji Jokowi tentang akan menyediakan 10 juta pekerjaan bagi rakyat RI.

Dan jadi ingat Mendikbud yang baru, boss OJOL Go-Jek. 

Dan jadi ingat satu _Meme_ di masyarakat, bahwa:

Topi pelajar SD berganti topi pelajar SMP.

Topi pelajar SMP berganti topi pelajar SMA, lalu ... 

Jadi berganti helm pengemudi OJOL ...


Saya pun jadi agak sedih.

Namun lalu saya terkesima dan tertawa-tawa takjub, 😁 saat dia berkata, dia sudah ke banyak tempat jauh. Demi pekerjaannya sebagai Tukang Ojek!

Terjauh, dia antarkan penumpangnya:

Dari _Surabaya_ ke ...

_Malang!_

Tepatnya ke daerah sekitar Universitas Muhammadiyah Malang, yang itu sebenarnya sudah hampir Sengkaling!

Itu lebih daripada 100 km! 

Membawa penumpang! 😯

✔Rupanya, karena penumpangnya adalah seorang Wali yang hendak melamarkan kemenakannya di sana, dari Surabaya, namun mabuk darat naik mobil! 😅

Jadi dia dicegat rombongan calon pengantin di daerah Rungkut Industri, Surabaya. Dan diminta mengantarkan si paman, ke Malang, _Off-line._ 

Pergi-pulang, dengan biaya Rp 400.000,- dan semua makan, minum, ditanggung! 😁

Berangkat dhuha, pulang ashar!

 _Rombongan lain naik mobil, si paman naik OJOL!_  😁

Dan qodarulloh, _sang paman suka makan-makan pula!_ 

Mungkin ini kompensasi dari rasa mabuk daratnya. Perut kosong, asam lambung naik, jika tanpa manajemen, jadi rawan mabuk juga. 

Hingga akhirnya mereka pun makan ... _sampai 5 kali!_  😋😁

Dua kali saat Surabaya-Malang: 

Bakso dan Soto Ayam.  😋

Tiga kali saat Malang-Surabaya: 

Bakso, Mi Ayam, Lontong Tahu! 😋😃

Dia senang saja.

_Dia bilang bekerja seharian 2-3 hari tak akan mungkin dapatkan uang sedemikian! Plus makan-makan enak!_ 

Yaa Allaah, _saya tertawa sepanjang perjalanan itu, 😆 ... Tetapi juga sediiiiih._ 😔

 _Rakyatku di tanah yang kaya-raya, berlokasi geografis strategis, dikagumi banyak orang sedunia, hidup susah demi mencari nafkah yang halal!_ 

 _Sementara di negara lain yang yang tidak sekaya Indonesia, bahkan tak jauh dari Zamrud Khatulistiwa ini, rakyat penganggurannnya bahkan berliburan ke Bali berminggu-minggu lamanya!_ 

Sesampainya di tempat tujuan, dia masih bercerita lagi, _pernah disewa seorang istri, memata-matai si suami._  🧐

Macam detektif partikelir! 🤠

Jadi si istri membonceng motornya, bersama dia membuntuti suaminya yang naik mobil bagus. 🚘

Dia bahkan diutus sang istri masuk ke restoran, mengikuti si suami, dan makan enak di sana, mengamati, memata-matai si suami. 🧐 

Si istri bersembunyi di luar.

 _Ternyata, ... si suami hanya berjumpa kawan-kawan lelakinya._  😁

Syukurlah!

...


Itu sekelumit pelajaran dari Allaah, hari ini.

💠 Saya jadi ingat:

 
🌸 Mencari rizki yang halal adalah wajib sesudah menunaikan yang fardhu (seperti sholat, puasa, dll). (HR. Ath-Thabrani dan Al-Baihaqi)

🌸 Sesungguhnya Allah Ta’aala senang melihat hambaNya bersusah payah (lelah) dalam mencari rizki yang halal. (HR. Ad-Dailami)

🌸 Apabila dibukakan bagi seseorang pintu rizki maka hendaklah dia melestarikannya. (HR. Al-Baihaqi)

🌸 Pengangguran menyebabkan hati keras (keji dan membeku). (HR. Asysyihaab)

🌸 Tiada seorang mu'min (yang beriman) ditimpa rasa sakit, kelelahan (kepayahan), diserang penyakit atau kesedihan (kesusahan) sampai pun hanya duri yang menusuk (tubuhnya), kecuali dengan itu Allah menghapus dosa-dosanya. (HR. Bukhori)

🌸 Di antara wahyu Allah kepada nabi Dawud 'alaihis salaam: 

“Tiada seorang hamba yang taat kepada-Ku melainkan Aku memberinya sebelum dia minta, dan mengabulkan permohonannya sebelum dia berdoa, dan mengampuni dosanya sebelum dia mohon pengampunan (istighfar).” (HR. Ad-Dailami)

🌸 Pemimpin suatu kaum adalah pengabdi (pelayan) mereka. (HR. Abu Na’im)

🌸 Akan datang sesudahku penguasa-penguasa yang memerintahmu. Di atas mimbar mereka memberikan petunjuk dan ajaran dengan bijaksana, tetapi apabila telah turun dari mimbar, mereka melakukan tipu daya dan pencurian. Hati mereka lebih busuk daripada bangkai. (HR. Ath-Thobroni)

🌸 Tanda orang munafik itu tiga: (1) apabila ia berucap, ia berdusta, (2) jika membuat janji, ia berdusta, dan (3) jika dipercayai, ia mengkhianatinya. (HR Al-Bukhori, Al-Muslim)

🌸 Dan apabila ia (si Munafik) mengerjakan puasa dan sholat, ia menyangka bahwa dirinya (masih) seorang muslim. (HR Al-Muslim)

🇲🇨 Allah, Tuhan Yang Maha Esa, yang namaNya dicantumkan di Pembukaan UUD 1945 dan menjadi dasar negara RI di pasal 29 ayat 1 UUD 1945, berfirman:

🌺وَوُضِعَ الْكِتٰبُ فَتَرَى الْمُجْرِمِيْنَ مُشْفِقِيْنَ مِمَّا فِيْهِ وَ يَقُوْلُوْنَ يٰوَيْلَـتَـنَا مَالِ هٰذَا الْـكِتٰبِ لَا يُغَادِرُ صَغِيْرَةً وَّلَا كَبِيْرَةً اِلَّاۤ اَحْصٰٮهَا ۚ وَوَجَدُوْا مَا عَمِلُوْا حَاضِرًا ۗ وَ لَا يَظْلِمُ رَبُّكَ اَحَدًا٪

🌺 Dan diletakkanlah Kitab (catatan amal), lalu engkau akan melihat orang yang berdosa merasa ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata:

"Betapa celaka Kami, Kitab apakah ini, tidak ada yang tertinggal, yang kecil dan yang besar melainkan tercatat semuanya!?!"

Dan mereka dapati (semua) apa yang telah mereka kerjakan (tertulis).

Dan Tuhanmu tidak mendholimi seorang jua pun.

(QS. Al-Kahfi ayat 49)


🌺 وَضَرَبَ اللّٰهُ مَثَلًا قَرْيَةً كَانَتْ اٰمِنَةً مُّطْمَئِنَّةً يَّأْتِيْهَا رِزْقُهَا رَغَدًا مِّنْ كُلِّ مَكَانٍ فَكَفَرَتْ بِاَنْعُمِ اللّٰهِ فَاَذَاقَهَا اللّٰهُ لِبَاسَ الْجُـوْعِ وَالْخَـوْفِ بِمَا كَانُوْا يَصْنَعُوْنَ

🌺 Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rizki datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah, karena itu Allah menimpakan kepada mereka bencana kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang mereka perbuat.

(QS. An-Nahl ayat 112)


🌺 وَاتَّقُوْا فِتْنَةً لَّا تُصِيْبَنَّ الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا مِنْكُمْ خَآ صَّةً ۚ وَاعْلَمُوْۤا اَنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ


Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak hanya menimpa orang-orang yang dholim saja di antara kamu. 

Ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaanNya.

(QS. Al-Anfal ayat 25)

❗Penjelasannya, oleh rosuululloh Muhammad - shollollohu 'alaihi wa sallam - sendiri:

Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla tidak menyiksa (orang) awam karena perbuatan (dosa) orang-orang yang khusus (yang dholim) sehingga mereka melihat kemungkaran di hadapan mereka dan mereka mampu mencegahnya, tetapi mereka tidak mencegahnya (menentangnya). 

Kalau mereka sampai berbuat demikian, maka Allah menyiksa yang khusus dan yang awam (seluruhnya). 

(HR. Ahmad dan Ath-Thabrani)

🌸 Bagaimana kamu apabila dilanda lima perkara? 

Kalau aku (Rasuululloh, shollollohu 'alaihi wa sallam), aku berlindung kepada Allah agar tidak menimpa kamu atau kamu mengalaminya:

(1) Jika perbuatan mesum dalam suatu kaum sudah dilakukan terang-terangan, maka akan timbul wabah dan penyakit-penyakit yang belum pernah menimpa orang-orang terdahulu. 

(2) Jika suatu kaum menolak mengeluarkan zakat, maka Allah akan menghentikan turunnya hujan. Kalau bukan karena binatang-binatang ternak tentu hujan tidak akan diturunkan sama sekali. 

(3) Jika suatu kaum mengurangi takaran dan timbangan (*) maka Allah akan menimpakan paceklik beberapa waktu, kesulitan pangan, dan kedholiman penguasa. 

(*) Termasuk: Korupsi, Curang dalam Pemilu, tidak adil dalam berhukum, dan sebagainya.

(4) Jika penguasa-penguasa mereka melaksanakan hukum yang bukan dari Allah, maka Allah akan menguasakan musuh-musuh mereka untuk memerintah, dan merampas harta kekayaan mereka. 

(5) Jika mereka menyia-nyiakan Kitabulloh dan Sunnah Nabi, maka Allah menjadikan permusuhan di antara mereka. 

(HR. Ahmad dan Ibnu Majah)

Demikian. 

Wallohua'lam. Wastaghfirulloh. Walhamdulillaah. 🌍🌸🍃