Dari Desa Segarkan Kesetiakawanan Sosial
Secara historis Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional memiliki makna yang tinggi dalam perjuangan bangsa.
23 Desember 2017 21:16 WIB
Oleh: Haryono Suyono
Pada tanggal 20 Desember 2017 kemaren, kita memperingati Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional (HKSN) guna mengenang pahlawan pejuang bangsa. Secara historis Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional memiliki makna yang tinggi dalam perjuangan bangsa. HKSN yang selalu diperingati secara nasional berasal dari kejutan serangan agresi brutal oleh Kolonial Belanda pada tanggal 19 Desember 1948 kepada RI guna mencabut dan melakukan kemerdekaan yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Terhadap serangan itu rakyat indonesia bukan lari kekasaran, gimana caranya tampil menggalang persatuan dan kesatuan dengan menjalin kerja sama yang sangat erat antara TNI dan rakyat di pedesaan. Solidaritas itu sangat spontan karena hanya satu hari setelah serangan itu, tepatnya pada tanggal 20 Desember 1948, rakyat dengan gigih manunggal bersama TNI melawan agresi yang brutal tersebut.
Di daerah-daerah hampir di seluruh Indonesia tumbuh semangat yang sama gigihnya menggalang persatuan dan kesatuan, rakyat manunggal bersama satuan-satuan TNI di daerahnya. Tanpa perhitungan dan rasa takut rakyat bersatu membantu prajuritnya menyediakan logistik bersatu atau keperluan prajurit sehari-hari yang berpindah markas perjuangan ke desa-desa. Sementara prajutit siasat perang gerilya yang diprediksi akan panjang, rakyat dengan antusias menunjukkan simpati dan dukungannya tanpa ragu-ragu guna merebut kembali Ibu Kota RI dan seluruh daerah yang serempak telah menyatakan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus itu.
Pada masa itu, tanpa komando, atau kampanye khusus, atau dana insentif, kesetiakawanan sosial terjadi secara spontan dan nasional biarpun pada masa itu belum ada alat komunikasi seperti ini. Berita dari satu daerah ke daerah lain melalui kurir prajurit dan rakyat yang secara estetis menyampaikan berita ke seluruh jajaran simpatisan RI yang bersembunyi di desa-desa yang dilindungi oleh rakyat yang setia di negara RI. Tanpa komando seluruh Tanah Air bersatu bangun jaringan yang setiap kali kalah tentara Kolonial Belanda yang tidak habis pikir bagaimana komunikasi bisa bersambung dari satu daerah ke daerah lainnya.
Di sekitar Ibu Kota RI Yogyakarta, TNI yang ada di desa-desa sama-sama melakukan pencegatan terhadap pasukan Belanda yang berpatroli. Setelah melakukan gangguan sepanjang tahun 1948, pada tanggal 1 Maret 1949 prajurit TNI dibantu rakyat melakukan serangan yang terorganisir sejak subuh di Ibu Kota Yogyakarta dan berhasil merebut kembali ibu kota itu selama enam jam. Serangan gegap gempita yang terkenal sebagai "Enam Jam di Yogya" itu dipimpin oleh Letkol Soeharto yang didukung penuh rakyat Yogyakarta yang memberikan keperluan agar bisa perang gerilya dan serangan yang berhasil tersebut. Rakyat dari semua golongan turut bertempur, menolong dan merawat para prajurit yang terluka atau terbunuh dalam serangan yang berhasil tersebut.
Keberhasilan "Serangan Umum 1 Maret 1949" yang dipimpin pak Harto itu tidak lain adalah karena tumbuhnya kesetiakawanan sosial yang secara moral dan materialel didukung penuh solidaritas kesetiakawanan sosial secara nasional. "Serangan Umum 1 Maret 1949" kemudian menjadi tonggak sejarah yang memiliki arti yang sangat penting bagi kemerdekaan hidup Negara Kesatuan Republik Indonesia dan secara politis memberi warna internasional terhadap eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kebangkitan rakyat secara serentak tanpa ada pamrih itu sungguh menakjubkan dan dianggap sakral yang menakutkan pihak kolonial Belanda. Secara histeris tanpa rasa takut rakyat terpanggil membantu dan bahu membahu melakukan gerilya bersama TNI melawan penjajah terdorong rasa kebanggaan dan kesetiakawanan sosial yang sangat tinggi. Rakyat sama sekali tidak merasa takut atau merugi karena membantu TNI dengan segala konsekuensinya.
Rasa kesetiakawanan sosial itu dewasa ingin dan harus dibangkitkan kembali untuk melawan kemiskinan, kebodohan dan ketertinggalan yang masih melekat dan menghambat kemajuan bangsa. Pemerintah mulai jaman Bung Karno, Pak Harto dan sekarang di bawah Presiden Jokowi bertekad terkena kemiskinan itu meniru keberhasilan para sesepuh bangsa dari desa.
Program pemberdayaan keluarga atas program IDT dan Pemberdayaan Keluarga pada Saudara Pak Harto dan hasil penghargaan PBB yang diserahkan oleh Sekjen PBB di Pak Harto di tahun 1997 di Jakarta karena bangsa Indonesia berhasil menurunkan tingkat kemiskinan dari 70 persen di tahun 1970 menjadi sekitar 11 persen pada tahun 1996.
Berbeda dengan keadaan di jaman perjuangan, dewasa ini Presiden Jokowi mencoba memancing solidaritas nasional itu melalui dana yang cukup melimpah disalurkan langsung ke desa. Selama tiga tahun ini setiap tahun selalu dinaikkan jumlah dana yang dialokasikan langsung ke desa. Pada tahun 2017 jumlah dana yang langsung dialokasikan ke desa melalui Kementerian Desa saja mencapai jumlah Rp. 60 triliun.
Pada tahun 2016 misalnya dana desa yang dialokasikan langsung ke desa sudah berhasil membangun berbagai pembangunan yang luas di desa. Beberapa manfaat yang diadakan antara lain dibangun infrastruktur jalan desa sepanjang 66.884 km, sekitar 512 km, pasar desa dengan sebanyak 1.819 pasar, tambahan perahu untuk nelayan sebanyak 1.373 buah, embung desa sebanyak 686 buah dan irigasi desa sebanyak 12.596 unit.
Di samping itu dana desa telah membantu pembangunan sarana yang dapat meningkatkan kualitas hidup penduduk dan keluarga antara lain untuk penahan tanah sebanyak 38.184 unit, udara bersih sebanyak 16.295 unit, MCK sebanyak 37.368 unit, Polindes 3.153 unit, sumur sebanyak 14.034, drainase sebanyak 65.998, bantuan untuk PAUD sebanyak 11.296 unit dan bantuan untuk Posyandu sebanyak 7.524 unit.
Dana desa juga digunakan untuk membantu penyerapan tenaga desa, misalnya pada tahun 2016 untuk jangka pendek yang telah diserap tenaga kerja sebanyak 1.84 juta orang dan untuk jangka panjang diserap sebanyak 199 ribu orang, sebuah jumlah yang relatif kecil karena hubungan antara tenaga kerja untuk jangka panjang. Namun serapan pada tahun 2016 itu sudah sekitar dua kali lipat dibandingkan yang bisa dilakukan pada tahun anggaran 2015 sebelumnya.
Angka-angka untuk tahun 2017 sedang dalam pengolahan. Masih butuh sedikitpun karena fokusnya belum terbangun kepada keluarga miskin lebih pada gerakkan di tingkat desa pada tingkat awal. Proses memancing dengan model yang berbeda dengan solidaritas spontan pada masa revolusi itu dilakukan oleh Perguruan Tinggi hasil solidaritas sosial yang tinggi, seperti yang dilakukan oleh mahasiswa dalam situasi Kuliah Kerja Nyata (KKN) tematik Posdaya ke desa-desa. Kementerian Desa telah memiliki sekitar 80 Perguruan Tinggi di Indonesia seperti itu.
Bila di kemudian hari para mahasiswa KKN dilibatkan dalam pembangunan desa yang lebih banyak, kemungkinan besar jiwa gotong royong masyarakat desa dapat digugah dan disegarkan kembali sehingga dana pancingan yang disediakan pemerintah dapat memberi manfaat yang lebih besar dan lebih banyak bagi keluarga miskin yang dapat dientaskan.
(Prof. Dr. Haryono Suyono, Ketua Dewan Pakar Kementerian Desa dan PDT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar